Kamis, 30 Mei 2013

BUMD Bak Anak Haram

BUMD Bak Anak Haram

Posted by KabarNet pada 26/02/2013

Jakarta – KabarNet: Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) saat ini belum memiliki undang-undang terbaru sejak diterbitkannya UU Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. Menilik dari tahun dikeluarkannya, tentu saja substansi hukum yang dikandung dalam undang-undang tersebut tidak memenuhi syarat dengan kondisi saat ini. UU tentang Perusahaan Daerah itu sudah kadaluarsa dan tidak relevan lagi dengan dinamika perkembangan BUMD saat ini. BUMD tidak akan pernah maju selama undang-undangnya tidak disesuaikan.

Permasalahan yang ada dilapangan terkait dengan keberadaan BUMD, bahwa belum adanya payung hukum mengenai pengelolaan BUMD menimbulkan ketidakjelasan orientasi dari BUMD itu sendiri. Apakah BUMD ini untuk pelayanan publik atau profit oriented? seharusnya hal ini dibahas dalam UU, karena potensi yang dimiliki BUMD sangat besar. Apalagi total asset yang dimiliki jauh lebih besar jika dibandingkan dengan BUMN.

Selain itu masih adanya stigma negatif yang mengekang bagi upaya gebrakan usaha yang dilakukan BUMD terutama terkait pengelolaan keuangan dan aset daerah. Ketidak jelasan dasar hukum BUMD menjadikan lembaga pengelola kekayaan daerah ini MANDUL. Ironisnya lagi BUMD itu terlalu mudah dikaitkan dengan tindak pidana korupsi (Tipikor).

Semangat otonomi daerah, selain memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengelola daerahnya masing-masing, juga memberikan kesempatan kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk mengelola potensi-potensi bisnis yang ada di daerah. Hampir 2.000 BUMD di Indonesia yang sehat hanya kurang dari 30 persen. Sementara yang lain sulit berkembang karena masih banyaknya hambatan dan kelemahan dari undang-undang yang lama. Pola pikir pemerintah daerah dan DPRD tentang BUMD sebagai aset daerah dinilai sangat salah besar. Hal ini terbukti banyaknya BUMD yang MATI SURI.

Seiring dengan semangat otonomi, BUMD-BUMD baru pun bermunculan, namun tidak sedikit dari BUMD yang baru didirikan itu, hanya sekedar pajangan. Karena belum memiliki core business. Salah seorang direksi BUMD pernah mengeluh, perusahaanya sudah dibentuk berikut organnya, tapi core businessnya belum jelas. “Saya dirut BUMD, tapi BUMD kami belum ada kegiatan,” kata seorang direksi BUMD, asal Sulawesi, dalam sebuah seminar BUMD di Jakarta.

Hal senada disampaikan oleh Dirut PD. Pembangunan Bireuen (BUMD Bireuen), Kesuma Fachry, ST, bahwa seharusnya BUMD merupakan gardar terdepan penerapan otonomi Daerah yang berbasis Ekonomi Kerakyatan, mengapa? Karena seluruh potensi daerah berupa aset daerah, HGU, serta SDA berserta perijinannya bisa dijadikan sebagai modal Pemerintah Daerah yang dijadikan modal dasar BUMD dan tinggal mencari mitra kerja dalam penggelolaannya.

Sementara kepemilikannya tetap menjadi milik daerah melalui BUMD. Namun sangat disayangkan yang terjadi justru sebaliknya, BUMD bak anak HARAM, tersia siakan dan bahkan menjadi sarana pemaksaaan kebijakan yang pro penguasa bukan pro rakyat.

Selain itu posisinya yang berada dibawah Kementrian Dalam Negeri saat ini juga tidak bisa berbuat banyak karena alasan yang sering dijumpai bahwa daerah sedang mengalami defisit sehingga BUMD makin sekarat. “Seharusnya BUMD juga harus ada dibawah Kementrian BUMN dibawah binaan Deputi BUMD, dengan harapan bisa mendapat dana pembinaan CSR dari BUMN maupun sinergi antara keduanya dalam melaksanakan proyek daerah,” papar pria yang biasa disapa Ayi ini, kepada KabarNet Senin 25 Februari 2013.

Disisi kelembagaan, BUMD adalah, bagian dari struktur birokrasi pemerintah daerah. Di mana pengelola tidak profesional. Kebanyakan adalah pegawai pemda yang akan pensiun dan tidak punya pengalaman dan wawasan entrepreneurship. Selain itu tidak ada otonomi bagi manajemen. Karena BUMD merupakan bagian dari organ pemda, maka sulit untuk mendapatkan fasilitas dari lembaga penunjang, misalnya bank, perizinan, dll.

Pengelolaan BUMD, harus berlandaskan UUD 1945: Pasal 33 (3): Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun pedoman hukumnya masih berdasarkan UU No. 5/1962 tentang Perusahaan Daerah. Kemudian dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, pasal 177, disebutkan, pemerintah daerah dapat memiliki BUMD yang pembentukan, penggabungan, pelepasan kepemilikan, dan/atau pembubarannya ditetapkan dengan Perda yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Pedoman UU No. 5 tahun 1962 dan UU No. 32 dan tahun 2004 itu, tidak jelas arahnya. Lain halnya dengan UU PT, karena jelas syarat RUPS, organ komisaris, organ perusahaan dan sebagainya. Kalau dalam UU Otda, hanya memberikan kesempatan kepada masing-masing pemerintah daerah untuk otonomi, membangun dan mendirikan BUMD, kelanjutannya tidak jelas.

Kesuma Fachry melanjutkan, untuk bisa mengoptimalkan peran BUMD, harus merevisi UU No.5 Tahun 1962, sehingga dapat memenuhi kebutuhan dan perubahan iklim bisnis pada tataran domestik dan global. Sehingga tidak perlu lagi berpedoman pada UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, dan mengelola BUMD sesuai dengan prinsip-prinsip bisnis berdasarkan semangat dan prinsip good corporate governance, otonomi manajemen, dll. ”BUMD harus didaya gunakan sebagai lembaga bisnis yang menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD) bagi kemakmuran masyarakat,” jelasnya.

Pemerintah daerah tidak mencampuri operasional BUMD. Keberhasilan direksi BUMD diukur berdasarkan kinerja dan memakai ukuran/prinsip manajemen keuangan yang sehat. Sebelum diangkat menjadi direksi, masing-masing direksi membuat kontrak manajemen sesuai prinsip Good Corporate Governance (GCG).

Porsi kepemilikan saham BUMD, khususnya yang mengelola SDA harus minimal 51%. Porsi ini merupakan amanat konstitusi UUD 1945 pasal 33 (3). Privatisasi dapat diterima sepanjang pemda masih sebagai pemegang saham mayoritas, dan hasilnya untuk kepentingan BUMD, bukan untuk dipergunakan menambah kekurangan APBD. Sebenarnya sistim profitisasi adalah prinsip ideal dalam pengelolaan BUMD. Profitisasi berarti kepemilikan BUMD tetap ditangan pemerintah daerah, tapi cara pengelolaan murni bisnis tanpa campur tangan pemerintah dalam operasional BUMD, yang sesuai dengan amanat konstitusi. [KbrNet/Slm]

Sumber Artikel : http://kabarnet.wordpress.com/

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More