Kamis, 30 Mei 2013

Anak Telantar Bernama BUMD

Anak Telantar Bernama BUMD

Jum'at, 08 Februari 2013 | 09:32 WIB

TEMPO.CO - Untuk pertama kali, Rapat Koordinasi Pemerintahan 2013 melibatkan para anggota direksi badan usaha milik daerah (BUMD). Peristiwa ini terjadi pada 28 Januari lalu. Dalam rapat yang dipimpin langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut, direksi BUMD duduk sejajar dengan direksi BUMN. Rapat yang berlangsung di Jakarta Convention Center (JCC) itu diikuti Wakil Presiden Boediono, para menteri, pemimpin lembaga-lembaga negara, gubernur, dan bupati/walikota. 

Selama ini BUMD memang masih dilirik dengan sebelah mata. Padahal jumlahnya amat besar. Menurut data di Kementerian Dalam Negeri, ada 1.007 BUMD, baik milik pemerintah provinsi maupun milik kota/kabupaten. Bidang bisnisnya sangat beragam, dari air minum, pasar, perbankan, minyak dan gas, perkebunan, pelabuhan, properti, percetakan, hingga aneka usaha lainnya. Belakangan, lahir undang-undang yang mengharuskan pelibatan BUMD, seperti UU Minyak dan Gas. 

Total aset BUMD di Indonesia juga menunjukkan angka yang menggiurkan. Dalam catatan Kementerian Dalam Negeri, total aset BUMD mencapai Rp 375 triliun. Namun, sampai September 2012, seluruh bank daerah yang tergabung dalam Asosiasi Bank Daerah (Asbanda) saja sudah mencatatkan asetnya sebesar Rp 395 triliun. Belum lagi dihitung total aset PDAM seluruh Indonesia yang tergabung dalam Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi), pasar di bawah Asosiasi Pasar Seluruh Indonesia (Asparindo), serta BUMD sektor minyak dan gas yang sekarang sedang merancang pembentukan asosiasi.

Mengapa BUMD, yang total asetnya sepertiga dari total aset BUMN, kurang mendapat perhatian serius? Bisakah BUMD diharapkan menjadi mesin penggerak ekonomi daerah? Lantas, bagaimana menjadikan BUMD sebagai bagian dari mesin ekonomi nasional dan tidak terkesan menjadi anak telantar? Persoalan ini layak menjadi bahasan khusus.

Anak telantar

Sebagai badan usaha, sampai sekarang BUMD belum mempunyai payung hukum sendiri. Hingga kini, RUU BUMD yang sudah dirintis sejak pemerintahan Megawati Soekarnoputri belum terlihat hasilnya. Bahkan, sejak 2006, RUU BUMD sudah pernah masuk Program Legislasi Nasional, tapi beberapa tahun terakhir hilang dari daftar. Terakhir, Kementerian Dalam Negeri berinisiatif mencantolkan payung hukum BUMD ini dalam salah satu pasal revisi UU Pemerintah Daerah. Hanya, cara ini mengandung kelemahan karena hanya menjadi pasal dan nanti harus diatur lagi dengan peraturan pemerintah. Jadi, tidak setingkat undang-undang.

Sejumlah daerah menyiasati persoalan payung hukum ini dengan menjadikan BUMD sebagai perseroan terbatas. Caranya, dengan menjadikan aset perusahaan daerah sebagai setoran modal PT BUMD lewat inbreng. Dengan demikian, aset BUMD menjadi aset yang sudah dipisahkan dari aset pemerintah daerah. Ketika sudah menjadi PT, secara hukum BUMD mengikuti UU Perseroan Terbatas. Cara ini lebih memberi kepastian hukum kepada pengelola BUMD serta menjadikan gerak bisnis BUMD lebih luwes dan lincah. Birokratisasi pengambilan keputusan bisnis bisa diminimalkan.

Persoalannya, masih banyak kepala daerah yang enggan menjadikan BUMD berbadan hukum perseroan terbatas. Alasannya, BUMD dikhawatirkan tidak bisa menjalankan fungsi public services karena harus dikelola dengan pendekatan bisnis murni. Padahal paham seperti ini tidak benar. Meski BUMD berbentuk perseroan, pemerintah daerah sebagai pemilik saham bisa menitipkan kebijakan tersebut dalam setiap rapat umum pemegang saham, yang harus berlangsung setiap tahun.

Yang menarik lagi, pembinaan BUMD, yang jumlahnya besar dan total asetnya ratusan triliun rupiah, masih terkesan setengah hati. Di Kementerian Dalam Negeri, BUMD hanya diurusi pejabat setingkat kepala subdirektorat. Bandingkan dengan BUMN, yang dibina kementerian sendiri, yakni Menteri BUMN. Dengan dibina pejabat setingkat kepala subdirektorat di Kementerian Dalam Negeri, maka BUMD lebih dilihat sebagai urusan pemerintahan, bukan sebagai lembaga bisnis. Masalah ini sering menjadi kendala berkembangnya BUMD sebagai entitas bisnis. Tidak jarang juga pejabat yang bertugas membina BUMD di daerah kurang memahami bisnis.

Mesin ekonomi

Potensi yang ada sekarang sebetulnya memungkinkan BUMD bisa menjadi penggerak ekonomi daerah. Ia bisa menjadi instrumen untuk menjalankan fungsi pelayanan publik dengan lebih cepat dan sekaligus menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi di daerah. Namun peran ini baru bisa dirasakan ketika BUMD dikelola secara benar dan profesional. Bukan sebaliknya, menjadi benalu karena hidupnya mengandalkan tambahan setoran modal dari APBD.

BUMD yang sehat dan dikelola secara profesional sangat mungkin menjadi salah satu sumber pendapatan asli daerah. Selain itu, ia bisa menjadi penggerak bisnis yang belum dimasuki swasta, sementara sektor tersebut sangat penting untuk kemajuan daerah. Di Jawa Timur, misalnya, ada BUMD yang membangun pabrik tepung tapioka yang berdampak terjaminnya harga singkong di petani. Pabrik itu juga bisa mengurangi kapasitas impor tepung tapioka yang selama ini sangat besar.

Sayangnya, dalam catatan Badan Kerja Sama BUMD Seluruh Indonesia, dari seribu lebih BUMD tersebut, baru 25 persen yang sehat dan dikelola secara profesional. Dari jumlah itu, 70 persennya adalah bank daerah. Mengapa bank daerah cenderung sudah terkelola secara profesional? Selain mereka sudah punya hukum yang pasti, yakni UU Perbankan, sebagian besar sudah berbadan hukum PT. Dalam UU Perbankan, antara lain, diatur persyaratan menjadi pengelola bank. BUMD non-perbankan yang sudah sehat sebagian besar juga berbentuk perseroan.

Fakta ini semakin meyakinkan kita bahwa undang-undang sangat diperlukan untuk menjamin agar pengelolaan BUMD semakin profesional. Masih banyak BUMD yang, dalam rekrutmen pengurusnya bukan atas dasar pertimbangan profesional, menjadi wadah untuk menempatkan orang-orangnya sebagai kepala daerah. Singkatnya, standardisasi pengelola BUMD belum ada, sehingga memungkinkan hanya menjadi tempat "pembuangan" ataupun tempat "penitipan".

Melihat hal tersebut, sudah saatnya pemerintah pusat tidak melihat dengan sebelah mata potensi BUMD. Caranya, pertama, secara serius mengupayakan payung hukum yang lebih pasti dengan membuat Undang-Undang BUMD. Kedua, diperlukan restrukturisasi kelembagaan pembina BUMD. Rasanya, dengan potensi aset yang hampir sepertiga dari total aset BUMN tersebut, diperlukan badan pemerintahan yang lebih tinggi dan otoritatif. 

Selain itu, perlu perubahan orientasi dalam memandang BUMD. Kalau selama ini BUMD baru dilihat sebagai urusan pemerintahan dengan meletakkan pembinaannya di Kementerian Dalam Negeri, saatnya melihat mereka sebagai urusan ekonomi-bisnis. Misalnya, pembinaan untuk pemilik sahamnya tetap di Kementerian Dalam Negeri, tapi pembinaan untuk pengembangan bisnisnya ada di kementerian lain di bawah Menteri Koordinator Perekonomian. Kalau perlu, pada masa mendatang bisa diurusi oleh kementerian sendiri, seperti yang terjadi pada BUMN.*

Arif Afandi, Ketua Umum Badan Kerja Sama BUMD Seluruh Indonesia dan Direktur Utama Wira Jatim Group

Sumber Artikel : http://www.tempo.co/

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More