This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Minggu, 23 Juni 2013

Menunggu Perusahaan Daerah


Menunggu Perusahaan Daerah

in Editorial 09/06/2013 1 Comment 113 Views

Pemerintah daerah terus didorong untuk mandiri dari sisi anggaran belanja dan secara berangsur meminimalkan ketergantungan dari pemerintah pusat. Dan, sudah lama pula diidamkan BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) sebagai salah satu mesin pengisi pundi-pundi pendapatan asli daerah.

Namun, dilema BUMD juga ada, setidaknya terdapat dua sisi. Pertama, dari sisi eksternal, UU No. 5 Tahun 1962 sebagai payung hukum pendirian BUMD terasa sudah kadalursa, tak mampu mengikuti perkembangan zaman, yang “divonis” para pengamat sebagai penyebab BUMD tidak sinergis berinovasi.

Ada kemauan politik di masa pemerintahan Megawat Soekarno Putri memperluas ruang gerak BUMD, sayangnya tak berujung hingga kini. Pemerintah pusat juga masih terkesan setengah hati. Di Kementerian Dalam Negeri, BUMD hanya diurusi pejabat setingkat kepala subdirektorat. Bandingkan dengan BUMN, yang dibina kementerian sendiri, yakni Menteri BUMN.

Karena hanya dibina pejabat setingkat kepala subdirektorat di Kemendagri menjadikan BUMD lebih dilihat sebagai urusan pemerintahan, bukan sebagai lembaga bisnis. Masalah ini sering menjadi kendala berkembangnya BUMD sebagai entitas bisnis.

Kedua, dari sisi internal. Sisi ini bicara tentang manajemen BUMD. Pola manajemen dan rekrutmen personalia yang terlalu berbau birokratis dianggap sebagai salah satu tumpulnya ketajaman kuku enterprenur BUMD. Lalu diperparah masuknya pengaruh kalangan politisi dalam manajemen BUMD.

Tak heran banyak jajaran direksi BUMD di daerah termasuk di Madina diisi oleh pengurus atau pesanan dari partai politik tertentu. Kentalnya warna birokrasi dan pengaruh politisi ini menyebabkan BUMD tak mampu hidup, bahkan menjadi beban terhadap anggaran daerah. Sebab, para direksi maupun pengawas BUMD adalah orang-orang yang kurang memahami bisnis. Padahal, BUMD harus luwes dan lincah di tengah kancah dunia bisnis.

Oleh karena itu, kita berharap pemerintah daerah Madina, jika kelak menghidupkan kembali BUMD Madina atau menggantinya berbentuk Perusahaan Daerah, sebisa mungkin harus menyerahkan pengelolaannya kepada orang-orang yang memiliki etos bisnis. Kalangan anggota DPRD Madina dan partai politik juga harus menahan diri, termasuk para tim sukses pilkada, jangan memaksakan kepentingannya seperti yang selama ini terjadi.

Selain itu, kita juga berharap bahwa UU No. 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah yang dinilai salah satu penyebab sisi lemah BUMD ini, tidak menjadi faktor penghambat semangat Pamkab Madina. Sebab, banyak daerah lain BUMD-nya berhasil dan maju.

Toh, sejumlah daerah sudah menyiasati persoalan payung hukum ini dengan menjadikan BUMD sebagai perseroan terbatas. Caranya, dengan menjadikan aset perusahaan daerah sebagai setoran modal PT BUMD lewat inbreng. Dengan demikian, aset BUMD menjadi aset yang sudah dipisahkan dari aset pemerintah daerah. Pijakannya Pasal 177 UU No. 32 Tahun 2004 tantang Pemerintahan Daerah.

Ketika sudah menjadi PT, secara hukum BUMD mengikuti UU Perseroan Terbatas. Cara ini lebih memberi kepastian hukum kepada pengelola BUMD serta menjadikan gerak bisnis BUMD lebih luwes dan lincah. Birokratisasi pengambilan keputusan bisnis bisa diminimalkan.

Keterlibatan pihak swasta di BUMD sangat urgen, sebab merekalah yang memahami seluk beluk rimba bisnis yang rumit. Sebab, bisnis tak bisa dikelola oleh orang yang tidak matang dengan pahit asinnya rimba bisnis, meskipun modal finansial sudah ada.

Persoalannya, maukah pemkab Madina menjadikan BUMD berbadan hukum perseroan terbatas. Alasan bahwa BUMD dikhawatirkan tidak bisa menjalankan fungsi public services karena harus dikelola dengan pendekatan bisnis murni, harus dihilangkan. Tentu ada inovasi-inovasi yang bisa dimainkan. Misalnya, meski BUMD berbentuk perseroan, pemerintah daerah sebagai pemilik saham bisa menitipkan kebijakan tersebut dalam setiap rapat umum pemegang saham, yang harus berlangsung setiap tahun. ***

Sumber Artikel : http://mandailingonline.com/

Sabtu, 01 Juni 2013

Mendagri Larang Penyertaan Modal untuk BUMD tak Ber-PAD; Basuki : BUMD yang Rugi Bisa Kita Bubarkan; Dahlan Iskan : Jika Belum Hentikan Permintaan PMN, 13 Dirut BUMN Akan Dicopot

Mendagri Larang Penyertaan Modal untuk BUMD tak Ber-PAD

Sabtu, 16 Maret 2013 13:50 WIB

*Dari 6, Baru 3 yang Sumbang PAD

BANDA ACEH - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) melarang Pemerintah Aceh menyertakan modalnya kepada perusahaan daerah yang telah dibentuk dan diberikan modal, tapi sampai kini belum juga menyumbang pendapatan asli bagi daerah (PAD).

Contoh BUMD yang dilarang Mendagri untuk dikucurkan modal oleh Pemerintah Aceh adalah Perusahaan Daerah Pembangunan Aceh (PDPA). Untuk 2013 Pemerintah Aceh tadinya berniat menyertakan modal Rp 4,850 miliar kepada perusahaan yang “melulu rugi” ini. Tapi Mendagri mencegahnya.

Larangan itu disampaikan Mendagri dalam SK Nomor 903-194 Tahun 2013 tentang Evaluasi APBA dan Rancangan Peraturan Gubernur Aceh tentang Penjabaran APBA 2013 yang disampaikannya kepada Gubernur Aceh dan Pimpinan DPRA pada 18 Februari 2013. Mendagri melarang Pemerintah Aceh menyertakan lagi modalnya ke PDPA didasari atas fakta bahwa PDPA sudah menerima penyertaan modal Rp 5,150 miliar sejak dibentuk tahun 1994. Tapi sampai 2012, perusahaan ini belum berkontribusi terhadap keuangan Aceh satu rupiah pun.

Larangan serupa juga tertuju kepada perusahaan daerah lainnya. Umpama, PD Genap Mufakat yang sudah pernah digelontorkan penyertaan modal Rp 6,5 miliar, PT Seulawah NAD Rp 10 miliar, PT Sumatera Shipping Line Rp 100 juta, PT Sumatera Promotion Center Rp 100 juta, dan Pinbuk Rp 1,1 miliar.

Tapi, berdasarkan laporan yang ada, enam perusahaan yang pernah menerima penyertaan modal dari Pemerintah Aceh itu belum pernah menyetorkan seluruh maupun sebagian keuntungannya untuk penerimaan PAD Pemerintah Aceh.

Selain enam perusahaan daerah tadi, masih ada dua perusahaan daerah lagi yang telah pernah menerima kucuran modal dari Pemerintah Aceh, yaitu BPR Mustaqim dan PT Bank Aceh. Bedanya dengan yang lain, kedua perusahaan perbankan ini rutin memberikan sebagian keuntungannya untuk PAD Aceh. Tapi, karena target penyetoran keuntungan yang harus diberikan untuk tahun 2013 ini dinilai Mendagri terlalu besar, sehingga Mendagri mempertanyakannya apakah hal itu sudah rasional.

Kepala Biro Ekonomi Setda Aceh, Sofyan SE yang dimintai konfirmasinya mengatakan, penyetoran sebagian keuntungan BPRA Mustaqim untuk Pemerintah Aceh cenderung meningkat. Total modal yang pernah disetor untuk BPR Mustaqim sekitar Rp 44,779 miliar. Sementara setoran keuntungannya untuk PAD pada tahun 2009 Rp 1,3 miliar, tahun 2010 senilai Rp 1,7 miliar, tahun 2011 naik jadi Rp 3,4 miliar, dan tahun 2012 ini direncanakan Rp 4,4 miliar.

Begitu juga dengan PT Bank Aceh. Modal setor Pemerintah Aceh untuk bank itu telah mencapai Rp 900 miliar, sedangkan laba atau keuntungan yang diberikan untuk Pemerintah Aceh setiap tahunnya terus meningkat. Tahun 2010 sebesar Rp 100,765 miliar, tahun 2011 naik lagi menjadi Rp 116,238 miliar.

Jadi, kalau tahun 2013 ini targetnya Rp 100 miliar, maka penetapannya dinilai sudah rasional, karena bank itu sudah dua kali menyetorkan dividennya kepada Pemerintah Aceh di atas Rp 100 miliar. Begitu juga untuk BPR Mustaqim ditargetkan Rp 2 miliar. Alasannya, karena pada tahun 2011, BPR ini sudah memberikan bagian keuntungannya untuk PAD Aceh sebesar Rp 3,4 miliar. Angka ini di atas penetapan target tahun ini yang hanya Rp 2 miliar.

Terkait PDPA dan PDGM, Sofyan menjelaskan bahwa kedua perusahaan daerah ini pernah menerima penyertaan modal dari pemerintah, tapi tak berkembang. Sebagian penyertaan modal tadi justru habis untuk membayar gaji pegawai dan operasional kantor. Sebagian lagi untuk pengadaan aset.

Menurutnya, aset PDGM masih ada, antara lain, berupa tanah 8,5 hektare, gedung kantor, pabrik pengolahan kopi plus mesinnya, dan klinik kesehatan. Aset itu berlokasi di Aceh Tengah.

Akan halnya PDPA, asetnya juga ada, tapi tidak banyak. Hanya ada tanah dan toko di Aceh Besar.
Belum jelas

Dalam APBA 2013 Pemerintah Aceh mengalokasikan penyertaan modal ke PDPA sebesar Rp 4,850 miliar. Ini untuk memenuhi kecukupan modal awalnya yang masih kurang sebesar yang akan dibantu. Alasan lain, karena sudah ada manajemen baru dan mereka akan bekerja sama dengan sebuah perusahaan gas untuk mengoptimalkan kembali aset Arun jadi aset yang produktif.

Sedangkan penyertaan modal Pemerintah Aceh untuk PT Sumatera Shipping Line Rp 100 juta dan PT Promotion Center Rp 100 juta. Kedua perusahaan ini merupakan perusahaan patungan dari sepuluh provinsi di Sumatera. PT Sumatera Promotion Centre, kantor pusatnya di Batam, sedangkan PT Sumatera Shipping Line, kantor pusatnya belum jelas di mana.

Untuk Pusat Inkubasi Bisnis (Pinbuk), Pemerintah Aceh sudah menyertakan modal Rp 1,1 miliar. Pinbuk, punya sebelas baitul qirad di seluruh Aceh. Tapi, sumbangannya untuk PAD masih sangat kecil. Hanya Rp 22 juta pada tahun 2011. (her)
Editor : hasyim

Sumber Berita : http://aceh.tribunnews.com/




Basuki: BUMD yang Rugi Bisa Kita Bubarkan

Penulis : Kurnia Sari Aziza
Senin, 11 Maret 2013 | 13:49 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengancam akan membubarkan badan usaha milik daerah (BUMD) yang tak menghasilkan untung bagi pendapatan asli daerah (PAD) DKI. Salah satunya adalah PT Ratax yang merupakan perusahaan taksi pertama dengan 60 armada, yang dalam tiga tahun belakangan selalu merugi.

Pemprov DKI menempatkan saham di Ratax sebesar 12 persen dan menjadi minoritas. "Ya, mungkin bisa kita bubarkan kalau dia enggak sesuai, kalau taksi itu tidak mencapai 2.000 taksi, pasti tidak feasible," kata Basuki di Balaikota Jakarta, Senin (11/3/2013).

Alternatif lain, menurut Basuki, yaitu membubarkan perusahaan taksi itu dengan melakukan kerja sama dengan perusahaan taksi yang ada dan telah sukses.

Sementara itu, Wakil Ketua DPRD DKI Triwisaksana mengaku banyak BUMD yang tidak memberikan kontribusi. Dia memperkirakan ada 10 BUMD yang tidak berkontribusi terhadap PAD.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengakui target tahun ini PAD dari BUMD hanya sekitar Rp 600 miliar, yaitu dari Bank DKI Rp 150 miliar serta Ancol Pembangunan Jaya dan Jakpro sekitar Rp 150 miliar.

Begitu juga menurut Wakil Ketua Komisi B DPRD DKI Santoso. Menurutnya, ada dua perusahaan BUMD yang merugi, yakni PT Cemani Toka dan PT Ratax, yang selama lima tahun terakhir hanya membebani Pemprov.

Selain PT Ratax, menurut dia, Cemani Toka merupakan perusahaan yang bergerak di bidang distributor tinta juga selalu merugi tiap tahunnya sehingga BUMD tersebut tak layak untuk dipertahankan.

Oleh karena itu, dia meminta Pemprov DKI ke depannya untuk dapat segera memetakan BUMD yang tergolong sehat dan tidak sehat. Dengan demikian, Pemprov DKI dapat mengambil langkah untuk menangani perusahaan pelat merah itu.

"Pemprov DKI harus dapat memetakan lagi, BUMD yang punya potensi berkembang dan sebaliknya," kata Santoso.
Editor : Ana Shofiana Syatiri

Sumber Berita : http://megapolitan.kompas.com/



Jika Belum Hentikan Permintaan PMN, 13 Dirut BUMN Akan Dicopot

HARIAN ORBIT-MENTERI BUMN Dahlan Iskan meminta 13 badan usaha milik negara (BUMN) untuk mencabut usulan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada pemerintah.

“Saya tegaskan, tidak ada lagi BUMN yang mendapat suntikan modal. Meskipun ada BUMN yang sudah ditetapkan mendapat PMN dalam APBN 2013, tetap saya minta dicabut,” kata Dahlan usai Rapat Pimpinan Kementerian BUMN di Gedung Bank Mandiri Jakarta, di Jakarta, Selasa 26 Februari 2013.

Ia mengatakan 13 BUMN tersebut adalah PT Boma Bisma Indra, PT Askrindo, PT Jamkrindo, PT Pertani, PT Batan Tek, Perum Antara, PT Dok Kodja Bahari, PT Dok Perkapalan Surabaya, PT Permodalan Nasional Madani, PT Hutama Karya, PT Barata Indonesia, PT INKA, dan Perum Prasarana Perikanan Samudra.

” Surat perintah kepada direksi 13 BUMN untuk mencabut pengajuan PMN sudah disampaikan hari ini (26/2), dan direksi harus merealisasikannya pada Rabu (27/2),” kata Dahlan.

Hingga saat ini, pihaknya masih saja menerima surat dari BUMN tersebut untuk memohon diberikan PMN. “Saya heran, padahal saya sudah berulangkali menyebutkan tidak ada bantuan modal bagi BUMN. Tidak perduli perusahaan itu dalam kondisi mau mati atau tidak,” katanya.

Oleh karena itu, katanya, jika direksi belum menandatangani pencabutan pengajuan PMN, maka direktur utama ke-13 BUMN tersebut akan dicopot.

Mantan Direktur Utama PT PLN itu mengatakan direksi yang masih minta PMN berarti yang bersangkutan tidak sanggup mengatasi kesulitan perusahaan masing-masing.

“Kalau masih minta PMN berarti dirutnya tidak bisa bekerja menyelesaikan masalah perusahaan,” katanya.

Terkait dua perusahaan, Askrindo dan Jamkrindo, yang sebelumnya disebutkan mendapat pengecualian, Dahlan mengatakan tetap tidak boleh mengajukan PMN.

“Kalau Askrindo dan Jamkrindo ditugasi untuk meningkatkan kapasitas usaha dan memperkuat struktur permodalan penjaminan Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan perkembangan kegiatan UMKM, dengan sendirinya pemerintah akan memberikan. Tapi tidak mereka yang mengajukan,” kata Dahlan. Ant

Sumber Berita : http://www.harianorbit.com/

Jumat, 31 Mei 2013

Menata Ulang Usaha BUMD

Ekonomi Makro
Senin, 12 Maret 2012 | 10:21:29 WIB

Perusahaan Daerah I Intervensi Pengelolaan Menyulitkan Pengembangan Bisnis

Menata Ulang Usaha BUMD

ANTARA/BHAKTI PUNDHOWO

Seandainya tidak ada terobosan baru, kemungkinan selama hidupnya badan usaha milik daerah (BUMD) hanya untuk "sapi perahan" pemiliknya, yakni pemerintah daerah. Di sisi lain, dalam kegiatan bisnisnya, BUMD butuh kelonggaran untuk melakukan pengembangan usaha yang ujungnya peningkatan pelayanan masyarakat tanpa mengesampingkan keuntungan. 

Kondisi dilematis ini sekaligus menjadikan BUMD bagai hidup tanpa pegangan. Tak heran, ketidakjelasan pengelolaan ini yang menjadikan BUMD sulit bergerak, boro-boro berpikir pengembangan investasi, karena dananya sudah untuk menyetor dividen dan meng-entertain kolega politik daerah. Alhasil, dari sebanyak 1.113 BUMD dengan aset sekitar 343 triliun rupiah yang ada hingga saat ini, hanya sekitar 60 persen yang berkinerja baik.

Keberadaan BUMD ini menarik perhatian serius Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi. Belum lama ini, dalam pembukaan Musyawarah Nasional IV dan BUMN Strategic Forum di Jakarta, Gamawan melontarkan keinginnya untuk mengajukan kembali Rancangan Undang-Undang Badan Usaha Milik Daerah (RUU BUMD) kepada DPR. "RUU BUMD dulu sudah masuk Prolegnas, sekarang sudah tidak masuk lagi. Kita akan perjuangkan mudah-mudahan tahun depan (2013) masuk," katanya.

Gamawan mengakui draf RUU BUMD sudah siap untuk dibahas bersama DPR RI. Aturan setingkat UU sangat dibutuhkan BUMD sebagai payung hukum agar tidak ragu-ragu dalam berusaha dan mengembangkan diri. "Tinggal dibawa ke DPR aja," katanya.

Keluhan semakin gamangnya perjalanan BUMN terungkap pula oleh Ketua Umum Badan Kerja Sama BUMD Seluruh Indonesia Prabowo Sunirman. Menurut dia, UU tersebut sangat ditunggu-tunggu. Pasca dicabutnya UU No 5/1962 tentang Perusahaan Daerah, sampai sekarang belum ada UU penggantinya.

Saat ini, pengelolaan BUMD sepenuhnya ditetapkan melalui peraturan daerah dengan persetujuan DPRD. Akibatnya, BUMD sulit untuk berkembang karena tidak memiliki kelonggaran dalam mengembangkan diri. "Intervensi, baik dari legislatif maupun eksekutif, ini kan kadang-kadang membuat bergeraknya tidak longgar," katanya.

Mengenai pengajuan RUU BUMD, Prabowo mengakui sebenarnya telah diusulkan sejak 2006 dan masuk dalam Program Legislasi Nasional 2011. Namun, pada akhirnya, RUU tersebut terabaikan. Pada 2012, RUU tersebut tidak lagi masuk dalam Program Legislasi Nasional.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi secara tegas melarang berbagai pihak yang menjadikan badan usaha milik daerah (BUMD) menjadi mesin pencetak uang bagi pihak-pihak yang ingin bersinggungan dengan dunia politik. "BUMD itu jangan jadi mesin ATM. Biasanya diancam kalau tidak membantu ini-itu, nanti dirutnya diberhentikan," tutur Gamawan Fauzi.

Sebagaimana umumnya, dalam rapat umum pemegang saham (RUPS) yang dilakukan oleh masing-masing BUMD, sudah menetapkan anggaran yang akan dipergunakan, misalnya anggaran operasional, investasi, serta kebutuhan lainnya. Artinya, BUMD tidak diperbolehkan mengeluarkan dana di luar yang disepakati oleh RUPS.

"Misalnya, mau pilkada terus ada yang meminta sumbangan ke BUMD. Jangan diberikan di luar yang disekapati oleh RUPS," tegasnya.

Rawan Intervensi
Tingginya potensi intervensi terhadap BUMD bahkan mendapat perhatian Wakil Presiden Boediono. Secara tegas, Boediono memerintahkan agar BUMD dan badan usaha milik negara (BUMN) jangan sampai diintervensi oleh eksekutif maupun legislatif.

Karenanya, intervensi telah membuat potensi ekonomi BUMD dan BUMN tak berkembang. "Kalau intervensi dari pemilik (pemerintah) termasuk legislatif terlalu besar sehingga ruang profesional semakin sempit, itu mengurangi potensi prestasi tinggi," katanya. 

BUMD dan BUMN di negara berkembang seperti di Indonesia memang dibutuhkan untuk menyokong perekonomian. suh/E-8

Sumber Berita : http://koran-jakarta.com/

Kamis, 30 Mei 2013

Anak Telantar Bernama BUMD

Anak Telantar Bernama BUMD

Jum'at, 08 Februari 2013 | 09:32 WIB

TEMPO.CO - Untuk pertama kali, Rapat Koordinasi Pemerintahan 2013 melibatkan para anggota direksi badan usaha milik daerah (BUMD). Peristiwa ini terjadi pada 28 Januari lalu. Dalam rapat yang dipimpin langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut, direksi BUMD duduk sejajar dengan direksi BUMN. Rapat yang berlangsung di Jakarta Convention Center (JCC) itu diikuti Wakil Presiden Boediono, para menteri, pemimpin lembaga-lembaga negara, gubernur, dan bupati/walikota. 

Selama ini BUMD memang masih dilirik dengan sebelah mata. Padahal jumlahnya amat besar. Menurut data di Kementerian Dalam Negeri, ada 1.007 BUMD, baik milik pemerintah provinsi maupun milik kota/kabupaten. Bidang bisnisnya sangat beragam, dari air minum, pasar, perbankan, minyak dan gas, perkebunan, pelabuhan, properti, percetakan, hingga aneka usaha lainnya. Belakangan, lahir undang-undang yang mengharuskan pelibatan BUMD, seperti UU Minyak dan Gas. 

Total aset BUMD di Indonesia juga menunjukkan angka yang menggiurkan. Dalam catatan Kementerian Dalam Negeri, total aset BUMD mencapai Rp 375 triliun. Namun, sampai September 2012, seluruh bank daerah yang tergabung dalam Asosiasi Bank Daerah (Asbanda) saja sudah mencatatkan asetnya sebesar Rp 395 triliun. Belum lagi dihitung total aset PDAM seluruh Indonesia yang tergabung dalam Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi), pasar di bawah Asosiasi Pasar Seluruh Indonesia (Asparindo), serta BUMD sektor minyak dan gas yang sekarang sedang merancang pembentukan asosiasi.

Mengapa BUMD, yang total asetnya sepertiga dari total aset BUMN, kurang mendapat perhatian serius? Bisakah BUMD diharapkan menjadi mesin penggerak ekonomi daerah? Lantas, bagaimana menjadikan BUMD sebagai bagian dari mesin ekonomi nasional dan tidak terkesan menjadi anak telantar? Persoalan ini layak menjadi bahasan khusus.

Anak telantar

Sebagai badan usaha, sampai sekarang BUMD belum mempunyai payung hukum sendiri. Hingga kini, RUU BUMD yang sudah dirintis sejak pemerintahan Megawati Soekarnoputri belum terlihat hasilnya. Bahkan, sejak 2006, RUU BUMD sudah pernah masuk Program Legislasi Nasional, tapi beberapa tahun terakhir hilang dari daftar. Terakhir, Kementerian Dalam Negeri berinisiatif mencantolkan payung hukum BUMD ini dalam salah satu pasal revisi UU Pemerintah Daerah. Hanya, cara ini mengandung kelemahan karena hanya menjadi pasal dan nanti harus diatur lagi dengan peraturan pemerintah. Jadi, tidak setingkat undang-undang.

Sejumlah daerah menyiasati persoalan payung hukum ini dengan menjadikan BUMD sebagai perseroan terbatas. Caranya, dengan menjadikan aset perusahaan daerah sebagai setoran modal PT BUMD lewat inbreng. Dengan demikian, aset BUMD menjadi aset yang sudah dipisahkan dari aset pemerintah daerah. Ketika sudah menjadi PT, secara hukum BUMD mengikuti UU Perseroan Terbatas. Cara ini lebih memberi kepastian hukum kepada pengelola BUMD serta menjadikan gerak bisnis BUMD lebih luwes dan lincah. Birokratisasi pengambilan keputusan bisnis bisa diminimalkan.

Persoalannya, masih banyak kepala daerah yang enggan menjadikan BUMD berbadan hukum perseroan terbatas. Alasannya, BUMD dikhawatirkan tidak bisa menjalankan fungsi public services karena harus dikelola dengan pendekatan bisnis murni. Padahal paham seperti ini tidak benar. Meski BUMD berbentuk perseroan, pemerintah daerah sebagai pemilik saham bisa menitipkan kebijakan tersebut dalam setiap rapat umum pemegang saham, yang harus berlangsung setiap tahun.

Yang menarik lagi, pembinaan BUMD, yang jumlahnya besar dan total asetnya ratusan triliun rupiah, masih terkesan setengah hati. Di Kementerian Dalam Negeri, BUMD hanya diurusi pejabat setingkat kepala subdirektorat. Bandingkan dengan BUMN, yang dibina kementerian sendiri, yakni Menteri BUMN. Dengan dibina pejabat setingkat kepala subdirektorat di Kementerian Dalam Negeri, maka BUMD lebih dilihat sebagai urusan pemerintahan, bukan sebagai lembaga bisnis. Masalah ini sering menjadi kendala berkembangnya BUMD sebagai entitas bisnis. Tidak jarang juga pejabat yang bertugas membina BUMD di daerah kurang memahami bisnis.

Mesin ekonomi

Potensi yang ada sekarang sebetulnya memungkinkan BUMD bisa menjadi penggerak ekonomi daerah. Ia bisa menjadi instrumen untuk menjalankan fungsi pelayanan publik dengan lebih cepat dan sekaligus menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi di daerah. Namun peran ini baru bisa dirasakan ketika BUMD dikelola secara benar dan profesional. Bukan sebaliknya, menjadi benalu karena hidupnya mengandalkan tambahan setoran modal dari APBD.

BUMD yang sehat dan dikelola secara profesional sangat mungkin menjadi salah satu sumber pendapatan asli daerah. Selain itu, ia bisa menjadi penggerak bisnis yang belum dimasuki swasta, sementara sektor tersebut sangat penting untuk kemajuan daerah. Di Jawa Timur, misalnya, ada BUMD yang membangun pabrik tepung tapioka yang berdampak terjaminnya harga singkong di petani. Pabrik itu juga bisa mengurangi kapasitas impor tepung tapioka yang selama ini sangat besar.

Sayangnya, dalam catatan Badan Kerja Sama BUMD Seluruh Indonesia, dari seribu lebih BUMD tersebut, baru 25 persen yang sehat dan dikelola secara profesional. Dari jumlah itu, 70 persennya adalah bank daerah. Mengapa bank daerah cenderung sudah terkelola secara profesional? Selain mereka sudah punya hukum yang pasti, yakni UU Perbankan, sebagian besar sudah berbadan hukum PT. Dalam UU Perbankan, antara lain, diatur persyaratan menjadi pengelola bank. BUMD non-perbankan yang sudah sehat sebagian besar juga berbentuk perseroan.

Fakta ini semakin meyakinkan kita bahwa undang-undang sangat diperlukan untuk menjamin agar pengelolaan BUMD semakin profesional. Masih banyak BUMD yang, dalam rekrutmen pengurusnya bukan atas dasar pertimbangan profesional, menjadi wadah untuk menempatkan orang-orangnya sebagai kepala daerah. Singkatnya, standardisasi pengelola BUMD belum ada, sehingga memungkinkan hanya menjadi tempat "pembuangan" ataupun tempat "penitipan".

Melihat hal tersebut, sudah saatnya pemerintah pusat tidak melihat dengan sebelah mata potensi BUMD. Caranya, pertama, secara serius mengupayakan payung hukum yang lebih pasti dengan membuat Undang-Undang BUMD. Kedua, diperlukan restrukturisasi kelembagaan pembina BUMD. Rasanya, dengan potensi aset yang hampir sepertiga dari total aset BUMN tersebut, diperlukan badan pemerintahan yang lebih tinggi dan otoritatif. 

Selain itu, perlu perubahan orientasi dalam memandang BUMD. Kalau selama ini BUMD baru dilihat sebagai urusan pemerintahan dengan meletakkan pembinaannya di Kementerian Dalam Negeri, saatnya melihat mereka sebagai urusan ekonomi-bisnis. Misalnya, pembinaan untuk pemilik sahamnya tetap di Kementerian Dalam Negeri, tapi pembinaan untuk pengembangan bisnisnya ada di kementerian lain di bawah Menteri Koordinator Perekonomian. Kalau perlu, pada masa mendatang bisa diurusi oleh kementerian sendiri, seperti yang terjadi pada BUMN.*

Arif Afandi, Ketua Umum Badan Kerja Sama BUMD Seluruh Indonesia dan Direktur Utama Wira Jatim Group

Sumber Artikel : http://www.tempo.co/

BUMD Bak Anak Haram

BUMD Bak Anak Haram

Posted by KabarNet pada 26/02/2013

Jakarta – KabarNet: Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) saat ini belum memiliki undang-undang terbaru sejak diterbitkannya UU Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. Menilik dari tahun dikeluarkannya, tentu saja substansi hukum yang dikandung dalam undang-undang tersebut tidak memenuhi syarat dengan kondisi saat ini. UU tentang Perusahaan Daerah itu sudah kadaluarsa dan tidak relevan lagi dengan dinamika perkembangan BUMD saat ini. BUMD tidak akan pernah maju selama undang-undangnya tidak disesuaikan.

Permasalahan yang ada dilapangan terkait dengan keberadaan BUMD, bahwa belum adanya payung hukum mengenai pengelolaan BUMD menimbulkan ketidakjelasan orientasi dari BUMD itu sendiri. Apakah BUMD ini untuk pelayanan publik atau profit oriented? seharusnya hal ini dibahas dalam UU, karena potensi yang dimiliki BUMD sangat besar. Apalagi total asset yang dimiliki jauh lebih besar jika dibandingkan dengan BUMN.

Selain itu masih adanya stigma negatif yang mengekang bagi upaya gebrakan usaha yang dilakukan BUMD terutama terkait pengelolaan keuangan dan aset daerah. Ketidak jelasan dasar hukum BUMD menjadikan lembaga pengelola kekayaan daerah ini MANDUL. Ironisnya lagi BUMD itu terlalu mudah dikaitkan dengan tindak pidana korupsi (Tipikor).

Semangat otonomi daerah, selain memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengelola daerahnya masing-masing, juga memberikan kesempatan kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk mengelola potensi-potensi bisnis yang ada di daerah. Hampir 2.000 BUMD di Indonesia yang sehat hanya kurang dari 30 persen. Sementara yang lain sulit berkembang karena masih banyaknya hambatan dan kelemahan dari undang-undang yang lama. Pola pikir pemerintah daerah dan DPRD tentang BUMD sebagai aset daerah dinilai sangat salah besar. Hal ini terbukti banyaknya BUMD yang MATI SURI.

Seiring dengan semangat otonomi, BUMD-BUMD baru pun bermunculan, namun tidak sedikit dari BUMD yang baru didirikan itu, hanya sekedar pajangan. Karena belum memiliki core business. Salah seorang direksi BUMD pernah mengeluh, perusahaanya sudah dibentuk berikut organnya, tapi core businessnya belum jelas. “Saya dirut BUMD, tapi BUMD kami belum ada kegiatan,” kata seorang direksi BUMD, asal Sulawesi, dalam sebuah seminar BUMD di Jakarta.

Hal senada disampaikan oleh Dirut PD. Pembangunan Bireuen (BUMD Bireuen), Kesuma Fachry, ST, bahwa seharusnya BUMD merupakan gardar terdepan penerapan otonomi Daerah yang berbasis Ekonomi Kerakyatan, mengapa? Karena seluruh potensi daerah berupa aset daerah, HGU, serta SDA berserta perijinannya bisa dijadikan sebagai modal Pemerintah Daerah yang dijadikan modal dasar BUMD dan tinggal mencari mitra kerja dalam penggelolaannya.

Sementara kepemilikannya tetap menjadi milik daerah melalui BUMD. Namun sangat disayangkan yang terjadi justru sebaliknya, BUMD bak anak HARAM, tersia siakan dan bahkan menjadi sarana pemaksaaan kebijakan yang pro penguasa bukan pro rakyat.

Selain itu posisinya yang berada dibawah Kementrian Dalam Negeri saat ini juga tidak bisa berbuat banyak karena alasan yang sering dijumpai bahwa daerah sedang mengalami defisit sehingga BUMD makin sekarat. “Seharusnya BUMD juga harus ada dibawah Kementrian BUMN dibawah binaan Deputi BUMD, dengan harapan bisa mendapat dana pembinaan CSR dari BUMN maupun sinergi antara keduanya dalam melaksanakan proyek daerah,” papar pria yang biasa disapa Ayi ini, kepada KabarNet Senin 25 Februari 2013.

Disisi kelembagaan, BUMD adalah, bagian dari struktur birokrasi pemerintah daerah. Di mana pengelola tidak profesional. Kebanyakan adalah pegawai pemda yang akan pensiun dan tidak punya pengalaman dan wawasan entrepreneurship. Selain itu tidak ada otonomi bagi manajemen. Karena BUMD merupakan bagian dari organ pemda, maka sulit untuk mendapatkan fasilitas dari lembaga penunjang, misalnya bank, perizinan, dll.

Pengelolaan BUMD, harus berlandaskan UUD 1945: Pasal 33 (3): Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun pedoman hukumnya masih berdasarkan UU No. 5/1962 tentang Perusahaan Daerah. Kemudian dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, pasal 177, disebutkan, pemerintah daerah dapat memiliki BUMD yang pembentukan, penggabungan, pelepasan kepemilikan, dan/atau pembubarannya ditetapkan dengan Perda yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Pedoman UU No. 5 tahun 1962 dan UU No. 32 dan tahun 2004 itu, tidak jelas arahnya. Lain halnya dengan UU PT, karena jelas syarat RUPS, organ komisaris, organ perusahaan dan sebagainya. Kalau dalam UU Otda, hanya memberikan kesempatan kepada masing-masing pemerintah daerah untuk otonomi, membangun dan mendirikan BUMD, kelanjutannya tidak jelas.

Kesuma Fachry melanjutkan, untuk bisa mengoptimalkan peran BUMD, harus merevisi UU No.5 Tahun 1962, sehingga dapat memenuhi kebutuhan dan perubahan iklim bisnis pada tataran domestik dan global. Sehingga tidak perlu lagi berpedoman pada UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, dan mengelola BUMD sesuai dengan prinsip-prinsip bisnis berdasarkan semangat dan prinsip good corporate governance, otonomi manajemen, dll. ”BUMD harus didaya gunakan sebagai lembaga bisnis yang menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD) bagi kemakmuran masyarakat,” jelasnya.

Pemerintah daerah tidak mencampuri operasional BUMD. Keberhasilan direksi BUMD diukur berdasarkan kinerja dan memakai ukuran/prinsip manajemen keuangan yang sehat. Sebelum diangkat menjadi direksi, masing-masing direksi membuat kontrak manajemen sesuai prinsip Good Corporate Governance (GCG).

Porsi kepemilikan saham BUMD, khususnya yang mengelola SDA harus minimal 51%. Porsi ini merupakan amanat konstitusi UUD 1945 pasal 33 (3). Privatisasi dapat diterima sepanjang pemda masih sebagai pemegang saham mayoritas, dan hasilnya untuk kepentingan BUMD, bukan untuk dipergunakan menambah kekurangan APBD. Sebenarnya sistim profitisasi adalah prinsip ideal dalam pengelolaan BUMD. Profitisasi berarti kepemilikan BUMD tetap ditangan pemerintah daerah, tapi cara pengelolaan murni bisnis tanpa campur tangan pemerintah dalam operasional BUMD, yang sesuai dengan amanat konstitusi. [KbrNet/Slm]

Sumber Artikel : http://kabarnet.wordpress.com/

BUMD Perlu UU Yang Memihak

BUMD Perlu UU Yang Memihak

Oleh: Dahlan Iskan
20 September, 2012

Oleh: Rida K Liamsi

Catatan Redaksi
Komisi II DPD RI, 13 September lalu menyelenggarakan seminar uji shahih Draft Undang-Undang BUMD yang diprakarsai lembaga senat tersebut, di Pekanbaru untuk mewakili wilayah barat. Sementara seminar yang sama sebelumnya sudah dilakukan di Manado untuk mewakili wilayah timur, dan di Jogjakarta untuk wilayah tengah. Tulisan ini disampaikan sebagai sumbang saran untuk seminar tersebut.
***

BADAN Usaha Milik Negara (BUMN) sekarang ini memberi kontribusi sekitar 40 persen terhadap PDRB nasional. Karena itu, kemandirian ekonomi Indonesia cukup kuat. Telah terbukti beberapa kali bisa menyelematkan Indonesia dari terpaan krisis ekonomi dunia. Posisi dan peran demikian juga dapat dilakukan oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di Indonesia.

Asalkan diberi peluang dan diproteksi agar dapat peran maksimal. Saat ini kontribusi BUMD terhadap PDRB nasional baru sekitar 0,5 persen saja. Perkembangan BUMD masih sangat berat. Dari ribu-an BUMD yang ada, hanya sekitar 50 BUMD saja yang sehat dan berkembang, dan kebanyakan dari kelompok keuangan seperti perbankan. Kalau saja BUMD-BUMD itu bisa memberi kontribusi 10 persen saja terhadap PDRB nasional, alangkah kuatnya perekonomian nasional.

Keadaan dan posisi BUMD yang demikian kecil itu, tentu antara lain disebabkan masih kurangnya perhatian negara, dalam hal ini pemerintah di daerah terhadap posisi, kondisi, dan dukungan politis terhadap BUMD-BUMD agar sesuai dengan tujuan dan fungsi pendiriannya di era otonomi sekarang ini. Undang-undang yang memihak bagi pemberdayaan ekonomi daerah dan semangat ekonomi kerakyatan.

UU No 5 tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah yang pernah dibuat pada zaman Orde Lama, pada dasarnya sudah mengakomodasi beberapa hal yang mendasar tentang fungsi dan tugas perusahaan daerah, namun banyak pasal dalam UU ini tidak lagi sesuai dengan perkembangan dan tuntutan ekonomi saat ini, khususnya dengan keberadaan otonomi daerah. Karena itu UU ini telah dicabut pada tahun 1996, namun belum ada UU yang baru sebagai penggantinya.

Rencana Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI untuk mengusulkan rencana BUMD sebagai usul inisiatif, merupakan langkah yang baik dan strategis, meskipun beberapa tahun lalu pihak DPR RI juga pernah merancang dan menyosialisasikan kan draf UU BUMD versi mereka, namun sampai saat ini belum terwujud.

Draf UU BUMD yang baru versi DPD RI ini, meskipun sudah diperbaiki kekurangan dan sudah banyak mengakomodasi sisi strategis keberadaan BUMD, tetapi masih ada pasal-pasal yang memerlukan penegasaan dan penajaman agar BUMD benar-benar menjadi kekuatan ekonomi daerah dan kepentingan nasional.

Tidak hanya sekadar UU yang mengatur hal-hal yang bersifat mengawasi dan bahkan membatasi gerak BUMD sebagai lembaga bisnis. UU BUMD yang baru ini haruslah UU yang memihak, baik terhadap sistem ekonomi kerakyatan yang diterapkan di Indonesia, juga terhadap BUMD sebagai salah satu tulang punggung ekonomi daerah sebagai implementasi dari UU Otonomi Daerah yang sudah berjalan sejak 2000.

Ada beberapa hal yang sebaiknya dipertimbangkan sebagai semangat dan strategi dalam penyusunan UU BUMD tersebut. Pertama, UU BUMD yang baru tidak boleh menghilangkan semangat ekonomi kerakyatan yang berteraskan UUD 1945, di mana pemerintah dengan kekuasannya harus memberi perlindungan dan dukungan politik terhadap perekonomian nasional, terlebih ekonomi di daerah, dengan tetap menerapkan prinsip ekonomi pasar. Ekonomi jalan tengah ini untuk menghindari BUMD-BUMD dari penerapan prinsip pasar yang serakah.

Semangat UU seperti ini seharusnya ditetapkan dalam satu pasal saja agar arah perkembangan BUMD itu sejalan dengan tujuan pembangunan ekonomi nasional. UU No 5 tahun 1965 yang sudah dicabut itu, misalnya, menyebutkan tentang sistem ekonomi sosialis yang menjadi sistem ekonomi nasional sebagai semangat UU itu. Prinsip dan sistem perekonomian inilah sebenarnya yang menjadi bagian paling mendasar dalam rencana revisi UU BUMD ini: dari sosialisme ke ekonomi kerakyatan.

Kedua, UU BUMD yang baru seharusnya menegaskan secara jelas tujuan pendirian BUMD itu adalah sebagai wujud pelaksanaan sistem ekonomi kerakyatan dan menjadikan BUMD sebagai salah satu tulang punggung ekonomi daerah. Pasal 3 draf UU BUMD tentang tujuan pendirian BUMD, misalnya, kurang tegas dan kurang tajam, dan kurang setrategis dalam menjabarkan fungsi dan tujuan BUMD tersebut.

Bahkan terkesan memposisikan BUMD sebagai lembaga ekonomi yang kurang strategis. Tujuan mendirikan BUMD antara lain hanya sebagai “penyumbang” pada perkembangan usaha dan ekonomi daerah menunjukkan tujuan BUMD itu hanya menjadi institusi pelengkap dan asal ada. Tidak ada penegasan bahwa BUMD itu wajib menjadi penggerak dan tulang punggung ekonomi daerah yang wujudnya nanti adalah kontribusinya terhadap PDRB nasional.

Ketiga, UU BUMD yang baru tidak boleh mematikan semangat kemandirian daerah yang sudah diwujudkan dalam bentuk pendirian BUMD-BUMD yang sudah ada karena BUMD-BUMD itu didirikan sebagian besar sudah dengan tujuan yang jelas untuk membangun kemandirian daerah dan memberdayakan secara maksimal potensi daerah. Perda-Perda yang ditetapkan DPRD-DPRD telah bersandar dan mengacu secara prinsip pada UU Perseroan Terbatas (PT) No 40/2007 yang sudah cukup akomodatif dengan ekonomi masar dan dipagari dengan semangat nasionalisme.

Keempat, UU BUMD yang baru seharusnya secara tegas menetapkan bahwa secara bertahap pemerintah daerah harus memberi kesempatan kepada BUMD-BUMD untuk menguasai minimal 30 persen akses pada aset, modal, dan potensi ekonomi daerah dalam bentuk hak-hak istimewa, agar peran BUMD segera terwujud dan menjadi strategi pembangunan daerah. Dan seharusnya juga ada satu pasal khusus yang mengatur dan mengarahkan kepentingan strategis ini.

Kelima, UU BUMD yang baru itu sebaiknya menegaskan bentuk badan hukum BUMD itu, baik yang tujuannya untuk kepentingan pelayanan umum (public service) maupun meningkatkan pendapatan daerah (profit oriented), seharusnya berbadan hukum PT agar prinsip-prinsip pengelolaannya tetap bersemangat bisnis, profesional, dan kompetitif.

Badan hukum BUMD yang selama ini ada seperti Perusahaan Daerah (PD), Perusahaan Umum (Perum), BLU, dll, sangat sulit dikembangkan sebagai lembaga bisnis, karena campur tangan pemerintah daerah (dalam hal ini kepala daerah dan DPRD-nya) terlalu besar dan kerab membangun dinding birokrasi yang menghambat kemandirian dan fleksibilitas perusahaan daerah.

Selain itu, BUMD yang berbentuk Perum dll, kurang menarik minat mitra usaha swasta untuk membangun kerja sama, dan banyak kerja sama yang dilakukan akhirnya berakhir di mesa sengketa. Hakikat pendirian perusahaan apapupun tujuannya, termasuk public service, tujuan akhirnya tetaplah untuk meraih laba/profit, mandiri, dan membebaskan diri dari ketergantungan pada APBD.

Meskipun dalam draf tersebut Perum boleh diubah bentuk badan hukumnya menjadi PT, tetapi tetap memerlukan waktu dan haruslah yang sehat secara usaha. Artinya, masih tetap akan lama terus “menyusu” pada APBD.

Keenam, UU BUMD yang baru seharusnya memberi peluang sebuah BUMD untuk berkembang sebagai holding company, baik holding untuk kepentingan operasional maupun holding untuk dalam pengendalian modal dan laba agar strategi pembangunan ekonomi daerah dapat dikendalikan secara strategis oleh pemegang saham utamanya dan memiliki sumber modal yang memadai dan memiliki posisi tawar (bargaining position) yang kuat.

Di samping secara legal akan lebih mudah karena cukup satu atau dua Perda saja, dan fungsi pengawasan dari legislatifnya lebih fokus dan terukur.

Ketujuh, UU BUMD yang baru seharusnya memaknai pengertian perusahaan daerah itu adalah perusahaan yang didirikan oleh daerah provinsi, kabupaten, maupun secara bersama-sama. Sementara kerja sama dengan pihak pelaku ekonomi lainnya seperti koperasi dan swasta, sebaiknya dilakukan pada anak-anak perusahaan yang didirikan perusahaan holding agar strategi, kebijakan, dan tujuan keberadan BUMD itu dapat diarahkan sesuai dengan kebijakan ekonomi daerah.

Di samping kelemahan BUMD yang memiliki modal, keahlian, dan jaringan bisnis yang terbatas tetap dapat diatasi melalui kemitraan, di mana pemerintah daerah melalui BUMD induk tidak selalu harus menjadi pemegang saham mayoritas dan memberi kesempatan mitra swasta untuk berperan lebih besar.

Kedelapan, UU BUMD yang baru seharusnya tetap menegaskan bahwa peyertaan modal pemerintah daerah dapat bersumber tidak hanya dari APBD, kapitalisasi cadangan equitas, tetapi juga dalam bentuk setoran aset yang nilainya ditetapkan berdasarkan apraisal independen dan mendapat persetujuan DPRD.

Pengertian “sumber lain-lain” dalam poin C ayat 3 pasal 5 draf UU BUMD, menyebabkan strategi pemberdayaan aset daerah yang idle, kewenangan pemberian izin dll, yang menjadi hak pemerintah daerah tidak secara tegas difungsikan dan menjadi kekuatan modal BUMD-nya untuk berkembang.

Kesembilan, UU BUMD yang baru sebaiknya menegaskan kepengurusan BUMD hendaklah sejalan dengan semangat UU No 40 tahun 1977 tentang PT yang ditetapkan berdasarkan asas kepercayaan, tanggung jawab, dan prestasi kerja, dan tidak berdasarkan kesimpulan naif bahwa direksinya harus berusia maksimum 56 tahun, gara-gara takut pegawai negeri yang sudah pensiun ditempatkan sebagai direksi, atau berdasarkan kekuasaan mutlak pemerintah daerah sebagai pemegang saham mayoritas, sehingga orang yang dipilih menjadi direksi tidak kualifaid dan profesional.

Fungsi dewan komisaris yang bertanggung jawab penuh atas nama pemegang saham untuk mengawasi dan mengevaluasi kinerja perusahaan dan direksinya, haruslah juga profesional dan bukan jabatan politis. Ini agar keputusan dan persetujuan yang dibuat dapat dipertanggungjawabkan dan dapat mengurangi hambatan birokrasi.

Karena itu dewan komisaris itu seharusnya minimal dua orang, dan seorang di antaranya adalah komisaris independen. Sedangkan direksi, untuk perusahaan yang baru didirikan dengan aset dan modal kecil, cukup satu orang, kecuali ada UU sektoral lain yang mengharuskan lebih, seperti UU tentang perusahaan keuangan.

Kesepuluh, UU BUMD yang baru seharusnya menetapkan masa jabatan pengurus BUMD itu 5 tahun, karena itulah siklus bisnis yang lazim, apalagi direksi diwajibkan membuat bisplan (rencana bisnis) 5 tahun, sehingga dewan komisaris dan direksi benar-benar bertanggung jawab terhadap rencana kerjanya dan berdasarkan kinerja itulah yang bersangkutan dapat dicalonkan kembali sebagai dekom atau direksi.

Kesebelas, UU BUMD yang baru menetapkan bahwa BUMDdidirikan berdasarkan Perda yang menetapkan bahwa modal pendiriannya berasal dari kekayaan daerah yang dipisahkan. Tetapi dalam mengelola usahanya baik UU BUMD maupun Perda seharusnya memberi hak-hak yang lebih besar kepada pemegang saham, dekom dan direksi untuk membuat keputusan pelepasan hak, penghapusan aset, penggabungan, pengembangan, dan lain-lain strategi usaha, terhadap aset perusahaan yang merupakan bagian harta yang sudah dipisahkan, kecuali terhadap penambahan modal dan pembubaran perusahaan.

BUMD bertanggung jawab penuh kepada pemegang sahamnya, dan DPRD sebagai lembaga pengawas menerima laporan perkembangan perusahaan dari pemegang saham. Meskipun UU No 40/2007 tentang PT sudah mengakomodasikannya, namun dalam praktik, terutama saat berhubungan pemeriksaan dan audit, aspek hukum demikian tetap diperlukan.

Demikianlah pokok-pokok pikiran ini disampaikan yang merupakan bagian dari pengalaman penulis mengelola BUMD serta mengamati perkembangan BUMD-BUMD lain, khususnya di Riau.***

Chairman Riau Pos Group dan Dirut Riau Investment Corporation (RIC).

BUMN dan BUMD Butuh UU PNPD

BUMN dan BUMD Butuh UU PNPD

2 Pebruari 2012

JAKARTA – Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) membutuhkan Undang-undang (UU) yang mengatur Piutang Negara (PN) dan Piutang Daerah (PD). Menteri Keuangan Agus Martowardjojo mengatakan BUMN dan BUMD pada saat berkompetisi di masyarakat ada ketimpangan, tidak ada kesetaraan.

“Salah satu dikeluhkan mereka selalu dihadapkan pada situasi piutang BUMN perseroan yang dimiliki BUMN dan BUMD dianggap itu piutang negara. Piutang BUMN dianggap sebagai piutang negara, walau masih ada peraturan yang menegaskan UU nomor 49. Sehingga membuat interprestasi berbeda,” kata Agus, di DPR, Kamis (2/2) di sela rapat kerja dengan Komisi XI.

“Makanya kita perlu Undang-undang khusus Piutang Negara dan Piutang Daerah sehingga jelas kewenangan BUMN dan BUMD mengurus piutang negara dan daerah,” timpal Agus.

Ia mengaku, seluruh fraksi di Komisi XI sudah merespon DIM terkait RUU pengurusan PNPD, itu. Sekarang masuk tahap pembahasan. “Dari 500 DIM, 176 disepakati. Yang lain sedang pembahasan, mungkin ada perubahan dan usulan baru,” katanya.

Dia menilai, RUU itu memang sangat dibutuhkan. Diakuinya, secara dini di Indonesia banyak BUMN dan BUMD sudah bekerja dengan profeisonal mengelola aset negara yang dipisahkan.

Bahkan beberapa BUMN sudah menjadi perusahaan publik. Tidak semua saham persero dikuasai negara. Investasi sudah ada dari dalam maupun luar negeri. “Pengelolaannya juga profesional,” tegasnya.

Nah, menurut dia, jika RUU itu disetujui, tentu BUMN diizinkan untuk mengelola piutang senditri. “Tidak lagi ada kekhawatiran merugikan negara dan lain-lain,” katanya.

Menkeu juga mengaku agar dalam UU itu diatur piutang negara tidak diurus oleh panitia. Cukup di Kemenkeu saja yang ada unit menangani. “Karena lebih efisien dan efektif. Kalau dikelola panitia, tidak ada yang betul-betul bertanggungjawab melaksanakannya,” ujarnya. (boy/jpn



Sumber Artikel : http://www.bumn.go.id/

Jabar Akan Bentuk BUMD Pertanian

Jabar Akan Bentuk BUMD Pertanian

Penulis : Didit Putra Erlangga Rahardjo | Rabu, 11 Juli 2012 | 14:48 WIB

BANDUNG, KOMPAS.com — Ketua DPRD Provinsi Jawa Barat Irfan Suryanegara mengungkapkan rencana pembentukan badan usaha milik daerah yang bergerak di bidang pertanian. Dia menyebutkan, BUMD itu bakal membantu setiap aspek kehidupan petani.

Demikian penuturan Irfan sewaktu memberikan sambutan dalam Seminar Nasional Kemandirian Pangan 2012 di Gedung Rektorat Universitas Padjadjaran, Kampus Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Rabu (11/7/2012).

Selain dihadiri Irfan, seminar itu juga dihadiri Rektor Unpad Ganjar Kurnia dan Kepala Badan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Jabar Diden Trisnadi.

"BUMD ini masih kami persiapkan kelahirannya. Semoga bisa diwujudkan pada periode gubernur saat ini," kata Irfan.

Dia menuturkan, BUMD pertanian itu bakal berkonsentrasi terhadap segala infrastruktur pertanian dengan menyediakan bibit, pupuk, hingga barang kebutuhan sehari-hari petani. BUMD nantinya juga membeli hasil pertanian sehingga tidak perlu lagi takut terhadap tengkulak.

Untuk itu, ujar Irfan, pihaknya berencana menggandeng TNI untuk mengatasi tengkulak. Pasalnya, mereka kerap berkongsi dengan preman agar tidak bisa diganggu.

Komoditas utama yang bakal digarap adalah padi, kedelai, dan jagung. Pada masa mendatang, komoditas yang ditangani juga bertambah.

Editor :
Marcus Suprihadi

Sumber Berita : http://regional.kompas.com/

Sekilas Sejarah BUMD

Situs BUMD Online

Sekilas Sejarah BUMD

Posted on 11 Maret 2011

Istilah Badan Usaha Milik Daerah atau disingkat BUMD tidak terlepas dari perkembangan kebijakan terkait dengan Badan Usaha Milik Negara. Pada awalnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah perusahaan-perusahaan negara baik yang berbentuk badan-badan berdasarkan hukum perdata maupun yang berbentuk badan hukum berdasarkan hukum publik antara lain yang berdasarkan Undang-Undang Perusahaan Indonesia/Indonesische Bedrijvenwet, Staatsblad Tahun 1927 Nomor 419 dan perusahaan-perusahaan milik negara yang didirikan berdasarkan undang-Undang Kompatilbilitet Indonesia (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448). Dalam rangka mensikronkan segala kegiatan ekonomi pada saat itu, Pemerintah mengeluarkan Perpu nomor 17 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara. Selanjutnya, dalam rangka menertibkan usaha negara berbentuk Perusahaan Negara terutama karena ada banyak usaha negara dalam bentuk Perusahaan Negara yang inefisien, maka Pemerintah menerbitkan Perpu Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara. Dalam Perpu ini, ditetapkan bahwa usaha-usaha negara berbentuk perusahaan dibedakan dalam Perusahaan Jawatan (Perjan) yang didirikan dan diatur menurut ketentuan-ketentuan dalam Indonesische Bedrijvenwet (Staatsblad Tahun 1927 Nomor 419), Perusahaan Umum (Perum) yang didirikan dan diatur berdasarkan ketentuan UU 19 Prp. Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara, dan Persero yang merupakan penyertaan negara pada perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang atau KUHD (Wetboek Van Koophandel, Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23).

Seiring dengan perkembangan zaman serta dalam rangka menjamin kepastian dan penegakan hukum mengingat terjadinya dualisme pengaturan pada Perseroan Terbatas yang selama ini diatur dalam KUHD (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23) dan Ordonansi Maskapai Andil Indonesia (Ordonnantie op de Indonesische Maatschappij op Aandeelen, Staatsblad 1939: 569 jo.717) Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas sebagai penganti Buku Kesatu Titel Ketiga Bagian Ketiga Pasal 36 sampai dengan Pasal 56 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel, Staatsblad 1847: 23) yang mengatur mengenai Perseroan Terbatas berikut segala perubahannya, terakhir dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1971 dan Ordonansi Maskapai Andil Indonesia (Ordonnantie op de Indonesische Maatschappij op Aandeelen, Staatsblad 1939: 569 jo.717).

Sejalan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, Pemerintah menerbitkan beberapa peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksana Perpu Nomor 1 Tahun 1969 yaitu Peraturan Pemerintah Nomor Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero) dan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum.Namun demikian, mengingat bahwa Perpu 1 Tahun 1969 dan kedua Peraturan Pemerintah tersebut dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, serta didorong dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan Negara, Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang hanya mengatur dua bentuk hukum badan usaha negara yaitu Perum dan Persero. Sementara Perjan, dengan terbitnya Undang-Undang ini, harus dirubah bentuk hukumnya menjadi Perum atau Persero.

Istilah BUMD diilhami dari terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 dan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998. Namun demikian, definisi BUMD sampai sekarang belum ditetapkan secara baku oleh peraturan perundang-undangan. Berbeda dengan BUMN yang definisinya telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Dilain pihak, istilah BUMD telah tertuang baik dalam Peraturan Mendagri Nomor 3 Tahun 1999 tentang Bentuk Hukum BUMD, tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah maupun dalam banyak Undang-Undang Sektoral seperti UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU Kelistrikan, UU Minerba, UU Pelayaran, UU Jalan, dsb. Hal ini dapat dimaklumi karena pendirian dan pengaturan BUMD sampai saat ini masih tunduk dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Daerah walaupun undang-undang ini telah dicabut dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969, namun karena ditegaskan bahwa UU 5/1962 tidak berlaku sejak diterbitkannya undang-undang pengganti, dan sampai sekarang belum ada undang-undang penggantinya, maka UU 5/1962 masih berlaku sampai sekarang.

UU 5/1962 tentang Perusahaan Daerah merupakan undang-undang yang penyusunannya diilhami dari terbitnya Perpu Nomor 17 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara. Berdasarkan UU 5/1962, Perusahaan Daerah adalah perusahaan yang seluruh atau sebagian besar modalnya berasal dari kekayaan daerah yang dipisahkan. Mengingat bahwa pembinaan pemerintahan daerah berada di bawah tanggungjawab Menteri Dalam Negeri, maka peraturan pelaksana UU 5/1962 diterbitkan oleh Mendagri baik berupa Instruksi Mendagri, Keputusan Mendagri, maupun Peraturan Mendagri. Sejak terbitnya UU 1/1995 tentang Perseroan Terbatas dan Permendagri Nomor 3/1999 tentang Bentuk Hukum BUMD, maka sebagian BUMD ada yang berbentuk Perseroan Terbatas, seperti misalnya PT. Jaya Ancol, PT. Riau Airlines, PT. Ratax, dsb. Mengingat definisinya sampai sekarang belum baku, maka BUMD yang berbadan hukum Perseroan Terbatas terkadang tidak mencerminkan mayoritas kepemilikan Daerah di perusahaan tersebut. Contoh yang paling nyata adalah PT. Delta Tbk yang dianggap sebagai BUMD DKI Jakarta. Pemda DKI Jakarta hanya pemegang saham minoritas dalam PT. Delta Tbk. sehingga saham pengendali berada di tangan swasta sepenuhnya. Namun, karena ada unsur Pemda di dalamnya, maka Pemda menganggap PT. Delta Tbk. sebagai BUMD. Jika berkasa dari definisi BUMN, maka hal ini seharusnya tidak terjadi jika definisi BUMD sudah ditetapkan. Ketidakjelasan definisi BUMD berdampak negatif terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan sektoral yang memberikan priviledge atau keistimewaan dalam melakukan usaha dengan tujuan untuk lebih meningkatkan pendapatan daerah namun pada kenyataannya perusahaan-perusahaan perseroan terbatas yang dianggap sebagai BUMD justru memberikan keuntungan yang lebih besar kepada pengusaha swasta karena Pemda hanyalah pemegang saham minoritas.

Email : subditbumd@gmail.com

Sumber Artikel : http://bumd.wordpress.com/

Mendagri Akan Ajukan Kembali RUU BUMD

Mendagri Akan Ajukan Kembali RUU BUMD

Kamis, 08 Maret 2012 13:19:24 | Berita Kemendagri | (805 view)

"RUU BUMD, dulu sudah masuk prolegnas, sekarang sudah tidak masuk lagi. Kita akan perjuangkan mudah-mudahan tahun depan (2013) masuk," katanya di Istana Wapres, Jakarta, Kamis. 

Menurut dia, draft RUU BUMD telah siap untuk dibahas. "Tinggal di bawa ke DPR aja," katanya. 

Ia menambahkan, UU BUMD sangat dibutuhkan sebagai payung hukum bagi BUMD agar tidak ragu-ragu dalam berusaha dan mengembangkan diri. 

Ketua Umum Badan Kerjasama BUMD Seluruh Indonesia Prabowo Sunirman mengatakan UU tersebut sangat ditunggu-tunggu. Sebab sejak dicabutnya UU no 5/1962 tentang Perusahaan Daerah, belum ada UU yang mengantikan

Pengelolaan BUMD sejak UU dicabut hanya melalui peraturan daerah dengan persetujuan DPRD. Akibatnya BUMD sulit untuk berkembang karena tidak memiliki kelonggaran dalam mengembangkan diri. 

"Intervensi baik dari legislatif maupun eksekutif ini kan kadang-kadang membuat bergeraknya tidak longgar," katanya. 

Ia menambahkan, dari 1.113 perusahan BUMD dengan aset sekitar Rp343 triliun yang ada hingga saat ini, hanya sekitar 60 persen berkinerja baik. 

Sementara itu, RUU BUMD sebenarnya telah diusulkan sejak 2006 dan masuk dalam program legislasi nasional 2011. Namun, pada akhirnya RUU tersebut terabaikan. Pada 2012, RUU tersebut tidak lagi masuk dalam program legislasi nasional. (tp)
Sumber :yahoo.com



Payung Hukum Jadul, BUMD Amburadul

Payung Hukum Jadul, 

BUMD Amburadul

Selasa, 19 Februari 2013 10:01 WIB | Dinda Leo Listy/JIBI/Harian Jogja

BANTUL-Ketua Badan Legislasi DPRD Bantul, Aslam Ridlo menilai keberadaan UU No.5/1962 yang diperkuat oleh UU No.5/1974 tentang pokok-pokok pemerintah di daerah tidak relevan dan kurang mampu mengakomodasi penyelenggaraan BUMD.

“Malah membuka celah kesalahan pengelolaan serta penyimpangan,” kata Aslam, kepada Harianjogja.com, Senin (18/2/2013).

Menurutnya, terdapat delapan poin yang perlu direvisi dalam UU tersebut. Di antaranya seputar cara memaksimalkan profit sekaligus pelayanan publik. Sementara, hingga kini pemerintah pusat belum melakukan revisi atas aturan tersebut. Hal ini membuat upaya revisi peraturan daerah tentang BUMD juga sulit dilakukan.

Data yang dihimpun Harianjogja.com dari tiga BUMD di Bantul, yaitu PD Bank Bantul, PDAM Bantul, dan PD Aneka Dharma. Perda No.5/1978 dan Perda No.13/1983 yang menjadi dasar pendirian PD Aneka Dharma dan PD Bank Bantul hingga kini belum direvisi.

Demikian pula dengan perda yang mendasari pendirian PDAM Bantul sejak 1980 silam. Rencananya, ketiga perda yang mengatur tiga BUMD itu baru akan direvisi pada triwulan ketiga tahun ini.

“Dengan asumsi revisi UU No.5/1962 selesai direvisi pada triwulan ketiga,” ujar Aslam.

Aslam mengungkapkan ketidakjelasan payung hukum menjadi faktor utama terjadinya permasalahan birokrasi hingga rendahnya profesionalisme di BUMD. Akibat lemahnya fungsi kontrol dari legislatif, intervensi berlebihan dari pemerintah daerah terhadap BUMD juga sulit dikendalikan.

“Di triwulan ketiga, segala hal tentang BUMD akan ditata ulang. Tiga perda yang menjadi dasar selama ini akan dirombak. Mulai dari sistem rekrutmen SDM, perbaikan manajemen, hingga optimalisasi badan pengawas,” papar Aslam.

Editor: Jumali | Dalam : Bantul,Jogjapolitan



Sumber Berita : http://www.harianjogja.com/

Perbaiki Tata Kelola BUMD

Kamis, 8 Maret 2012

Perbaiki Tata Kelola BUMD

Pembukaan Munas BKSBUMDSI dan BUMD Strategic Forum 2012

Foto
Wakil Presiden Boediono memberikan sambutan pada Pembukaan Munas BKSBUMDSI dan BUMD Strategic Forum 2012. (Foto : Yopie Hidayat)

Istana Wakil Presiden. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) memiliki peran untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan melaksanakan pembangunan secara umum. Tetapi dalam melaksanakan tugasnya, BUMD harus memperbaiki kinerjanya terutama aspek tata kelola. “Bagaimana meningkatkan standar tata kelola dari semua BUMD. Kuncinya disana,” ujar Wakil Presiden (Wapres) Boediono saat membuka Musyawarah Nasional Badan Kerjasama BUMD Seluruh Indonesia (BKSBUMDSI) dan BUMD Strategic Forum 2012, Kamis 8 Maret 2012.

Wapres menganalogikan BUMD-BUMD sebagai bayi-bayi yang sudah lahir dan harus dikelola dengan baik, baik secara internal maupun eksternal. Pada sisi internal adalah pengelolaan BUMD itu sendiri. Wapres pun berharap agar BKSBUMDSI dapat memberikan petunjuk manual tata kelola perusahaan bagi seluruh BUMD. “Menyebarkan standar tata kelola yang baik dengan mencari praktek yang baik dan diseminasikan,” ujar Wapres. 

Di sisi eksternal, Wapres mengharapkan agar BUMD dapat melakukan hubungan yang pas dengan pimpinan daerah selaku eksekutif dan DPRD selaku legislatif. Wapres berpesan agar pihak eksekutif dan legislatif tidak melakukan intervensi terlalu besar. Intervensi yang besar akan memberikan rambu-rambu yang sempit bagi profesional untuk berkarya. “Ini akan mengurangi potensi untuk mencapai prestasi tinggi. Intervensi yang pas adalah jangan saban kali diintervensi. Tapi dilepas sama sekali juga tidak benar,” ucap Wapres. Oleh karenanya ia mengharapkan agar hubungan eksternal BUMD dengan dengan pemangku kepentingan harus tepat. 

Berbagai cara dilakukan pimpinan daerah untuk meningkatkan PAD, dari mulai yang sangat pasif hingga sangat aktif. “Dan BUMD adalah salah satu cara untuk mencapainya. Tetapi untuk memilih cara yang mana, menjadi pilihan daerah itu sendiri,” ujar Wapres. 

Wapres memberi ilustrasi beberapa cara yang dilakukan oleh kepala daerah untuk meningkatkan pendapatannya. Misalnya, pada suatu daerah terdapat sumber daya alam yang besar dan tidak dapat diekspolitasi sendiri, sehingga pemda mengundang investor dari luar, karena memerlukan teknologi tinggi dan modal yang besar. “Apakah peran pemda? Yakni memaksimumkan manfaat,” tegas Wapres.

Bila pemda hanya meminta bagian bagi kas tanpa memikirkan banyak hal termasuk tentang sumber daya manusianya, maka tindakan seperti itu kelewat pasif. Cara yang yang lebih aktif adalah meminta bagian dalam saham kepemilikan. “Pemda menjadi bagian pengelola perusahaan itu. Artinya, pemda harus mempunya kemampuan dan ikut serta secara aktif untuk mengawal perusahaan,” ucap Wapres. Dalam kondisi seperti ini, pemda harus memiliki kapasitas tata kelola perusahaan dan turut terlibat dalam kerjasama. 

Cara yang lebih lanjut adalah dengan melakukan usaha patungan. “Jadi mengelola bersama-sama, tetapi juga membutuhkan kapasitas dari pemda yang sangat tinggi,” ujar Wapres. Tetapi, Wapres menjelaskan bahwa cara mana yang dipilih sangat bergantung pada situasi daerah itu sendiri. “Tidak bisa serta merta, pokonya harus ini. Kita menginginkan dalam jangka panjang memberikan hasil yang bagus,” ujar Wapres.

Wapres menjelaskan bahwa BUMD yang ada saat ini sudah merupakan keputusan pemda. Jika memang diperlukan pembentukan BUMD baru, maka ruang untuk mengambil keputusan bagi pimpinan daerah, tetap berpegang pada tujuan akhir untuk mengakselerasi pembangunan daerah dan memberikan mafaat maksimal.

Hingga kini diperkirakan jumlan BUMD telah mencapi lebih dari 1000 unit dengan aset Rp. 340 Triliun yang tersebar di seluruh Indonesia dan berbagai bidang usaha. “Bukan hanya kekuatan ekonomi, tetapi juga kemampuan untuk meningkatkan kapasitas daerah,” ujar Wapres. Untuk itu ia berharap agar BKSBUMDSI dapat mengawal aset-aset yang dimiliki BUMD, termasuk juga sumber daya manusia. Melalui Munas ini, Wapres berharap agar terjalin kerjasama di antara BUMD-BUMD, karena untuk meningkatkan prestasi BUMD memerlukan pertukaran informasi antar BUMD.

Konsensus Washington vs Konsensus Beijing

Saat ini di tataran global tengah terjadi perdebatan dua mazhab mengenai pengelolaan daerah atau negara. Mazhab yang pertama disebut dengan mazhab konsesus Washington dimana pemerintah sedapat mungkin tidak banyak melakukan intervensi pada dunia usaha dan bidang ekonomi. “Semuanya serahkan saja kepada dunia usaha. Kalau ada BUMN dan BUMD segera dilakukan privatisasi,” ujar Wapres. Azhab ini dan mendominasi beberapa dekade, terutama abad 20 dan awal abad 21.

Mazhab lainnya adalah mazhab konsesus Beijing, yang menjelaskan bahwa jika suatu negara akan melakukan pembangunan, terutama di negara berkembang, harus memiliki pemandu. “Kalau swastanya belum kuat, tentu pemerintah harus berada di garis depan,” ujar Wapres. Sehingga pada mazhab konsesus Beijing, peranan dari BUMN dan BUMD sangat penting, dan dicontohkan dengan apa yang terjadi di Republik Rakyat Tiongkok. 

Perspektif seperti ini sangat penting bagi pengelola instrumen di daerah, masing-masing menunjukkan keunggulan dan kekurangannya. “Secara umum bagi Indonesia sebagai negara berkembang biasanya pilihannya berada di tengah-tengah. Harus dipilih, tidak bisa tutup mata. Pilihannya berdasarkan kondisi di masing-masing negara atau daerah,” ucap Wapres. 

Untuk itu, peran BUMD dalam mengakselerasikan pembangunan sangat bergantung pada situasi yang dihadapi. Kadang-kadang BUMD yang ada tidak memiliki kapasitas, sehingga terjadi inefisiensi dan akan menjadi beban masyarakat. “Apakah biaya tinggi dibanding prestasi. Harus ada solusinya, apakah melalui strategi kemitraan, dan berbagai strategi lainnya,” ujar Wapres. 

Jika BUMN atau BUMD tidak dapat melaksanakan suatu kegiatan, apakah langsung memberikan pihak swasta ruang yang lebih besar? “Tergantung situasinya. Karena di beberapa daerah swastanya masih lemah, dan di sinilah pemerintah memiliki peran,” ujar Wapres. 

Wapres menjelaskan bahwa telah dilakukan studi terhadap dua mazhab tadi yang dilakukan oleh majalah internasional terkemuka, terutama pada konsensus Beijing. “Governance itu adalah kuncinya. BUMN di Cina yang sukses adalah BUMN yang diberikan kepada profesional dan elemen politiknya dikurangi,” ujar Wapres. 

Dalam pandangan Wapres, tidak tepat jika semua bidang usaha dilaksanakan oleh BUMN atau BUMD. Sebaiknya, sebagian dari perusahaan-perusahaan plat merah itu diberikan kepada dunia swasta. Bidang usaha yang cocok digeluti oleh BUMN atau BUMD adalah pembangunan infrastruktur. “Pengalaman di Cina sukses dengan pelaksanaan governancennya,” ujar Wapres. 

Bidang lainnya yang memerlukan peran BUMN atau BUMD adalah pengelolaan sumber daya alam, atau yang dikenal dengan big king, yaitu bidang yang membutuhkan teknologi tinggi dan modal besar. “Membutuhkan peran dari daerah yang paling optimal,” ucap Wapres. 

Di bagian akhir sambutannya, Wapres berpesan agar di dalam RUU BUMD dimasukkan rambu-rambu dan aturan dasar untuk melakukan reformasi BUMD, sehingga ada semangat perubahan. “Ruang-ruang untuk perbaikan diberi basis yang kuat di dalam UU yang baru,” ujar Wapres. 

Dalam laporannya, Ketua Umum BKSBUMDSI Prabowo Soenirman menyampaikan bahwa BKSBUMDSI didirikan pada tanggal 27 Februari 1993 yang bertujuan untuk mempererat hubungan kerjasama BUMD di seluruh Indonesia dan meningkatkan profesionalisme. Berbagai bidang usaha yang dilakukan oleh BUMD adalah perbankan, industri, perdagangan dan perhotelan, migas, dan berbagai bidang usaha lainnya. 

Prabowo menjelaskan bahwa belum adanya UU BUMD yang digunakan sebagai payung hukum. “Undang-Undang Nomor 5 tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah sudah dicabut. Sehingga RUU BUMD yang sudah disusun sangat ditunggu,” ujar Prabowo. 

Turut hadir mendampingi Wapres, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Acara ini dihadiri oleh Wakil Gubernur, Bupati, Walikota, Wakil Bupati, Wakil Walikota, dan 300 peserta munas yang terdiri dari DPD BKSBUMDSI, Komisari dan Direksi BUMD.
****
Sumber Artikel : http://wapresri.go.id/

DPD Terus Dorong RUU BUMD

DPD Terus Dorong RUU BUMD

Yogyakarta | Rabu, 12 Sep 2012

DEWAN Perwakilan Daerah mengajukan inisiatif dan terus rancangan undang-undang Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) bisa segera disahkan. Selama ini, masih terasa adanya banyak pertentangan terkait bagi hasil antara pusat dan daerah.

"Pertentangan antara pusat dan daerah sebenarnya tak perlu ada, untuk kelola sumber daya alam dan kekayaan yang ada di daerah, kita terus dorong agar RUU BUMD bisa segera di sahkan," kata Anggota DPD asal DI Yogyakarta Afnan Hadikusumo, di Yogyakarta, Selasa (11/9).

Berbicara dalam sesi uji sahih RUU BUMD di Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, Afnan menambahkan selama ini, setelah adanya pemekaran daerah dan pemberlakuan otonomi daerah, banyak konflik kepentingan terkait pengelolaan kekayaan.

Bambang Susilo, Ketua Komite II, DPD menjelaskan ada amanat UUD 1945 tentang pengelolaan kekayaan alam yang dimiliki sebagai sumber ekonomi di daerah. Sumber ekonomi yang menyangkut hajat hidup orang banyak wajib ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat.

"Butuh aturan yang jelas, pemekaran daerah berjalan luar biasa. Sayangnya negara tak membekali untuk pengelolaan kekayaan alamnya. Mestinya ketika ada pemekaran daerah, dibarengi dengan pembentukan BUMD, tidak ada alasan tak menyusun UU BUMD, kalau BUMN sudah ada UU-nya," kata Bambang. BUMN pun sudah ada undang-undangnya," katanya.

UU BUMD di antaranya berisikan aturan kepemilikan BUMD, yang bisa mengurangi praktek korupsi serta intervensi berlebihan dari pemerintah daerah, termasuk pengelolaan kekayaan daerah. Hubungan pusat dan daerah juga akan lebih harmonis dan tidak tumpang tindih.

Sumber Berita : http://www.jurnas.com/

KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 50 TAHUN 1999 TENTANG KEPENGURUSAN BADAN USAHA MILIK DAERAH

KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI
NOMOR 50 TAHUN 1999
TENTANG
KEPENGURUSAN BADAN USAHA MILIK DAERAH
MENTERI DALAM NEGERI,

Menimbang : 

a. Bahwa Badan Usaha Milik Daerah sebagai salah satu sumber pendapatan asli Daerah, hams dikelola oleh pengurus yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman sesuai bidang usahanya;
b. Bahwa dalam rangka pembinaan pelaksanaan otonomi Daerah, perlu memberikan pedoman Kepengurusan Badan Usaha Milik Daerah yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri.

Mengingat : 

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 10 Tambahan Lembaran Negara Nomor 2387);
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
Memperhatikan : 1. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 1999 - 2000
2. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor Ekon 8/10/38 tanggal 3 Desember 1979 tentang Pembenahan, Penertiban dan Penyehatan Perusahaan Daerah;
3. Surat Edaran Menteri Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia Nomor 335/MK. WASPAN/11/1998 tanggal 24 November 1998 tentang Penarikan kembali Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan pimpinan pada Badan Usaha Milik Daerah dan Badan Usaha Milik Negara;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG KEPENGURUSAN BADAN USAHA MILIK DAERAH.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
a. Daerah adalah Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota;
b. Kepala Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota;
c. Badan Usaha Milik Daerah selanjutnya disingkat BUMD adalah Perusahaan Daerah dan bentuk hukum lainnya dari usaha milik Daerah selain Perusahaan Daerah Air Minum, Bank Pembangunan Daerah dan Bank Perkreditan Rakyat;
d. Direksi adalah Direksi BUMD;
e. Badan Pengawas adalah Badan Pengawas BUMD.

BAB II
PENGURUS

Pasal 2
Pengurus BUMD terdiri dari:
a. Direksi;
b. Badan Pengawas.

BAB III
DIREKSI

Bagian Pertama
Pengangkatan
Pasal 3
(1) Direksi diangkat oleh Kepala Daerah diutamakan dari swasta atas usul Badan Pengawas.
(2) Dalam hal calon Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan berasal dari swasta maka yang bersangkutan harus melepaskan terlebih dahulu status kepegawaiannya.
(3) Untuk dapat diangkat sebagai anggota Direksi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Diutamakan mempunyai pendidikan sekurang-kurangnya Sarjana (S1);
b. Mempunyai pengalaman kerja minimal 5 (lima) tahun di perusahaan yang dibuktikan dengan surat keterangan (referensi) dari perusahaan sebelumnya dengan penilaian baik ;
c. Membuat dan menyajikan proposal tentang visi, misi dan strategi perusahaan;
d. Tidak terikat hubungan keluarga dengan Kepala Daerah atau dengan Anggota Direksi atau dengan Anggota Badan Pengawas lainnya sampai derajat ketiga baik menurut garis lurus maupun kesamping termasuk menantu dan ipar.
(4) Pengangkatan anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Surat Keputusan Kepala Daerah.

Pasal 4
Jumlah anggota Direksi paling banyak 4 (empat) orang dan seorang diantaranya diangkat sebagai Direktur Utama.

Pasal 5
(1) Seseorang dapat menduduki jabatan Direksi paling banyak 2 (dua) kali masa jabatan dalam kedudukan yang sama di BUMD yang bersangkutan.
(2) Dikecualikan dari ayat (1) apabila Direktur diangkat menjadi Direktur Utama.
(3) Masa jabatan Direksi ditetapkan selama 4 (empat) tahun.
(4) Pengangkatan untuk masa jabatan yang kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan, apabila Direksi terbukti mampu meningkatkan kinerja BUMD setiap tahun.

Bagian Kedua
Tugas dan Wewenang
Pasal 6
Direksi dalam mengelola BUMD mempunyai tugas sebagai berikut:
a. Memimpin dan mengendalikan semua kegiatan BUMD;
b. menyampaikan Rencana Kerja 5 (lima) tahunan dan Rencana Kerja Anggaran BUMD tahunan kepada Badan Pengawas untuk mendapat pengesahan;
c. Melakukan perubahan terhadap program kerja setelah mendapat persetujuan Badan Pengawas
d. Membina pegawai;
e. Mengurus dan mengelola kekayaan BUMD
f. Menyelenggarakan administrasi umum dan keuangan
g. Mewakili BUMD baik didalam dan di luar Pengadilan;
h. Menyampaikan laporan berkala mengenai seluruh kegiatan termasuk Neraca dan Perhitungan Laba/Rugi kepada Badan Pengawas.

Pasal 7
Direksi dalam mengelola BUMD mempunyai wewenang sebagai berikut:
a. Mengangkat dan memberhentikan pegawai
b. Mengangkat, memberhentikan dan memindahtugaskan pegawai dari jabatan dibawah Direksi;
c. Menandatangani Neraca dan Perhitungan Laba/Rugi
d. Menandatangani ikatan hukum dengan pihak lain.

Pasal 8
Direksi memerlukan persetujuan dari Badan Pengawas dalam hal-hal:
a. Mengadakan perjanjian-perjanjian kerjasama usaha dan atau pinjaman yang mungkin dapat berakibat terhadap berkurangnya asset dan membebani anggaran BUMD;
b. Memindahtangankan atau menghipotekkan atau menggadaikan benda bergerak dan atau tak bergerak milik BUMD
c. Penyertaan modal dalam Perusahaan lain.

Bagian Ketiga
Tahun Buku, Laporan Keuangan dan Tahunan
Pasal 9
(1) Tahun Buku Perusahaan adalah Tahun Takwim.
(2) Selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Tahun Buku Direksi menyampaikan Laporan Keuangan kepada Kepala Daerah melalui Ketua Badan Pengawas untuk mendapatkan pengesahan, yang terdiri dari Neraca dan Perhitungan Laba/Rugi Tahunan, setelah diaudit oleh Akuntan Publik.
(3) Neraca dan Perhitungan Laba/Rugi Tahunan yang telah mendapatkan pengesahan dari Kepala Daerah memberikan pembebasan tanggung jawab kepada Direksi dan Badan Pengawas.
(4) Selambat lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya Tahun Buku Direksi telah mengajukan Rencana Kerja dan Anggaran BUMD.
(5) Apabila pada tanggal 31 Desember tahun berjalan Badan Pengawas belum mengesahkan Rencana Kerja dan Anggaran BUMD yang diajukan, dianggap telah disahkan.

Bagian Keempat
Penghasilan dan Hak-hak Direksi
Pasal 10
(1) Penghasilan Direksi terdiri dari:
a. Gaji;
b. Tunjangan.
(2) Jenis dan besarnya tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan oleh Direksi.

Bagian Kelima
Cuti
Pasal 11
(1) Direksi memperoleh hak cuti sebagai berikut:
a. Cuti Tahunan selama 12 (dua belas) hari kerja
b. Cuti Besar/Cuti Panjang, selama 2 (dua) bulan untuk setiap satu kali masa jabatan;
c. Cuti bersalin selama 3 (tiga) bulan bagi Direktris
d. Cuti alasan penting
e. Cuti Sakit.
(2) Pelaksanaan hak cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, b dan c dilaksanakan setelah mendapat persetujuan Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk.
(3) Pelaksanaan hak cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan e dilaksanakan setelah mendapat persetujuan Badan Pengawas.
(4) Direksi selama melaksanakan cuti mendapatkan penghasilan penuh dari BUMD.

Bagian Keenam
Pemberhentian
Pasal 12
Direksi diberhentikan dengan alasan :
a. Atas permintaan sendiri;
b. Meninggal dunia;
c. Karena kesehatan sehingga tidak dapat melaksanakan tugasnya;
d. Tidak melaksanakan tugasnya sesuai dengan program kerja yang telah disetujui;
e. Terlibat dalam tindakan yang merugikan BUMD;
f. Di hukum pidana berdasarkan putusan Pengadilan Negeri yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Pasal 13
(1) Apabila Direksi diduga melakukan salah satu perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c, d, dan e Badan Pengawas segera melakukan pemeriksaaan terhadap yang bersangkutan.
(2) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Direksi sebagaimana dimaksud pada ay at (1) terbukti, Badan Pengawas segera melaporkan kepada Kepala Daerah.

Pasal 14
Kepala Daerah paling lama 12 (dua belas) hari kerja setelah menerima laporan hasil pemeriksaan Badan Pengawas, sudah mengeluarkan.
a. Surat Keputusan Kepala Daerah tentang pemberhentian sebagai Direksi bagi Direksi yang melakukan perbuatan dalam Pasal 12 huruf c, d, dan f;
b. Surat Keputusan Kepala Daerah tentang pemberhentian sementara sebagai Direksi bagi Direksi yang melakukan perbuatan dalam pasal 12 huruf e.

Pasal 15
(1) Direksi yang diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, b dan c, diberhentikan dengan hormat.
(2) Direksi yang diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d, e dan f, diberhentikan tidak dengan hormat.
(3) Direksi yang diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b selain diberikan uang duka sebesar 3 (tiga) kali penghasilan yang diterima pada bulan terakhir juga diberikan uang penghargaan yang besarnya ditetapkan secara proporsional sesuai masa jabatannya.
(4) Direksi yang diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c selain diberikan uang pesangon sebesar 5 (lima) kali penghasilan yang diterima pada bulan terakhir juga diberikan uang penghargaan yang besarnya ditetapkan secara proporsional sesuai masa jabatannya.
(5) Direksi yang berhenti karena habis masa jabatannya dan tidak diangkat kembali diberikan uang penghargaan sesuai dengan kemampuan BUMD.

Pasal 16
Paling lama 3 (tiga) bulan sebelum masa jabatan Direksi berakhir, Badan Pengawas sudah mengajukan calon Direksi kepada Kepala Daerah.

Pasal 17
(1) Kepala Daerah mengangkat Pelaksana Tugas (PLT), apabila Direksi diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir.
(2) Keputusan Kepala Daerah untuk masa jabatan paling lama 3 (tiga) bulan.

BAB IV
BADAN PENGAWAS

Bagian Pertama
Pasal 18
(1) Badan Pengawas diangkat oleh Kepala Daerah.
(2) Badan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari orang yang profesional sesuai dengan bidang usaha BUMD yang bersangkutan.
(3) Untuk dapat diangkat sebagai Badan Pengawas, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Menyediakan waktu yang cukup;
b. Tidak terikat hubungan keluarga dengan Kepala Daerah atau dengan Badan Pengawas lainnya atau dengan Direksi sampai derajat ketiga baik menurut garis lurus maupun kesamping termasuk menantu dan ipar;
c. Mempunyai Pengalaman dalam bidang keahliannya minimal 5 (lima) tahun.
(4) Pengangkatan Badan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Surat Keputusan Kepala Daerah.

Pasal 19
Jumlah Badan Pengawas paling banyak 3 (tiga) orang, seorang diantaranya dipilih menjadi Ketua merangkap Anggota.

Pasal 20
(1) Badan Pengawas diangkat paling banyak 2 (dua) kali masa jabatan.
(2) Masa jabatan Badan Pengawas ditetapkan selama 3 (tiga) tahun.
(3) Pengangkatan Badan Pengawas yang kedua kali dilakukan apabila :
a. Mampu mengawasi BUMD sesuai dengan Program Kerja
b. Mampu memberikan saran kepada Direksi agar BUMD mampu bersaing dengan Perusahaan lainnya ;
c. Mampu memberikan pendapat mengenai peluang usaha yang menguntungkan di masa yang akan datang.

Bagian Kedua
Tugas dan Wewenang
Pasal 21
Badan Pengawas mempunyai tugas sebagai berikut:
a. Mengawasi kegiatan operasional BUMD;
b. Memberikan pendapat dan saran kepada Kepala Daerah terhadap pengangkatan dan pemberhentian Direksi;
c. Memberikan pendapat dan saran kepada Kepala Daerah terhadap Program Kerja yang diajukan oleh Direksi;
d. Memberikan pendapat dan saran kepada Kepala Daerah terhadap Laporan Neraca dan Perhitungan Laba/Rugi;
e. Memberikan pendapat dan saran atas Laporan Kinerja BUMD.

Pasal 22
Badan Pengawas mempunyai wewenang sebagai berikut:
a. Memberi peringatan kepada Direksi yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan program kerja yang telah disetujui;
b. Memeriksa Direksi yang diduga merugikan Perusahaan;
c. Mengesahkan Rencana Kerja dan Anggaran BUMD ;
d. Menerima atau menolak pertanggung jawaban Keuangan dan Program Kerja Direksi tahun berjalan.

Bagian Ketiga
Penghasilan
Pasal 23
Badan Pengawas karena tugasnya menerima honorarium.

Pasal 24
(1) Ketua Badan Pengawas menerima honorarium sebesar 40 % (empat puluh perseratus) dari penghasilan Direktur Utama.
(2) Sekretaris Badan Pengawas menerima honorarium sebesar 35 % (tiga puluh lima perseratus) dari penghasilan Direktur Utama.
(3) Anggota Badan Pengawas menerima honorarium sebesar 30% (tiga puluh perseratus) dari penghasilan Direktur Utama.

Pasal 25
Selain honorarium, kepada Badan Pengawas setiap tahun diberikan jasa produksi.

Bagian Keempat
Pemberhentian
Pasal 26
Badan Pengawas dapat diberhentikan dengan alasan :
a. Atas permintaan sendiri
b. Meninggal dunia;
c. Karena kesehatan sehingga tidak dapat melaksanakan tugasnya;
d. Tidak melaksanakan tugas dan wewenangnya;
e. Terlibat dalam tindakan yang merugikan BUMD
f. Di hukum pidana berdasarkan putusan Pengadilan Negeri yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Pasal 27
(1) Apabila Badan Pengawas diduga melakukan salah satu perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c, d dan e Kepala Daerah segera melakukan pemeriksaan terhadap yang bersangkutan.
(2) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbukti melakukan perbuatan yang dituduhkan Kepala Daerah paling lama 12 (dua belas) hari kerja segera mengeluarkan:
a. Surat Keputusan Kepala Daerah tentang Pemberhentian sebagai Badan Pengawas bagi Badan Pengawas yang melakukan perbuatan dalam Pasal 26 huruf c, d dan f;
b. Surat Keputusan Kepala Daerah tentang pemberhentian sementara sebagai Badan Pengawas bagi Badan Pengawas yang melakukan perbuatan dalam pasal 26 huruf e.

BAB V KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 28
(1) Untuk membantu tugas Badan Pengawas dibentuk Sekretariat yang terdiri dari 2 (dua)orang.
(2) Honorarium Sekretariat di tetapkan oleh Badan Pengawas dan dibebankan kepada perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 29
(1) Besarnya jasa produksi untuk Direksi, Badan Pengawas, Pegawai dan Tenaga kerja lainnya ditetakan maksimum 20% (dua puluh persen) dari laba bersih tahun bersangkutan setelah di audit.
(2) Besarnya Jasa Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Direksi, Badan Pengawas, Pegawai dan tenaga kerja lainnya ditetapkan oleh Direksi.

Pasal 30
BUMD yang dimiliki oleh lebih dari 2 (dua) Daerah, Badan Pengawas boleh lebih dari 3 (tiga) orang dan jumlahnya paling banyak 5 (lima) orang.

Pasal 31
Direksi tidak boleh memangku jabatan rangkap baik di BUMD atau Perusahaan lainnya.

PasaI 32
Apabila dalam 2 (dua) tahun berturut-turut Direksi tidak mampu meningkatkan kinerja perusahaan, Kepala Daerah dapat mengganti Direksi.

Pasal 33
Direksi yang akan melakukan perjalanan dinas keluar negeri hams mendapat ij in dari Kepala Daerah.

Pasal 34
Dana Representatif disediakan dari Anggaran Perusahaan paling tinggi 75 % (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah penghasilan Direksi dalam 1 (satu) tahun yang diterima pada bulan terakhir, dan penggunaannya diatur oleh Direksi secara efisien dan efektif dalam rangka pengembangan BUMD.

KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 35
Direksi yang pada saat Keputusan ini ditetapkan telah menduduki jabatan yang ketiga kali, maka yang bersangkutan tetap menjalankan tugasnya sampai masa jabatannya berakhir.

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 36
Dengan berlakunya Keputusan ini maka Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 536-666 Tahun 1981 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengangkatan dan Pemberhentian Direksi dan Badan Pengawas Perusahaan Daerah dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 37
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 Juni 1999
MENTERI DALAM NEGERI,
ttd.
SYARWAN HAMID

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More